________________
○○○
Dia bicara kata tentang dirimu
Minuman dihidangkan dan hujan kian lebat berjatuhan
Dia memiliki cahaya bersinar di hadapanmu
Didalam memori penuh kata itu, ingatan tentangnya menyakitkan
________________
....
SPEDOMETER motor yang dikendarai Dama menunjukan angka 50km/jam. Motor gede berwarna hitam dominasi merah menyala itu memang sangat jarang Dama pakai. Baru kemarin Dama datang ke rumah utama untuk mengambil sepeda motor tersebut. Jalanan sepi yang dilaluinya itu mendukungnya untuk leluasa mengingat masa lalu yang kini terbayang olehnya. Meskipun mengenakan helm full face yang hanya menyisakan kedua matanya saja, namun siapapun yang melihat akan mengerti bahwa dalam sorot mata itu mengisyaratkan banyak luka. Kalimat yang pernah Erina lontarkan seketika lewat dalam ingatannya.
"Kalau lo memilih untuk memaafkan, maka lo bisa berdamai dengan keadaan. Tapi kalau lo masih tetap bertahan dalam kesakitan itu, selamanya lo enggak akan bisa sembuh."
Memaafkan? Dama bahkan lupa apa itu arti dari kata maaf. Melepaskan kesalahan orang lain dan melupakannya begitu saja? Sejak kapan kata maaf itu begitu mudah diucapkan namun begitu menyakitkan untuk dirasakan? Baginya, kata maaf itu bahkan tidak seharusnya terlontar dari mulutnya, tapi oleh orang yang telah menyakitinya. Yang telah membuat dunianya runtuh dan hancur seketika. Dirinya terlalu dibuat sibuk untuk melihat ke masa lalu tanpa tau caranya berhenti. Membuat dirinya tak bisa membayangkan kehidupan macam apa yang sebenarnya tengah menanti.
Laju motor yang dikendarai Dama berhenti disebuah tempat bernama 'Roxean Coffee Shop' dipinggir jalan. Pada papan kayu yang tergantung di bagian pintu berbahan kaca transparan itu tertulis kalimat 'Closed'. Dama melepas helm dan melangkah pelan mendekati coffee shop. Ia membuka pintu yang terkunci. Ketika masuk kedalam ruangan, semuanya masih terlihat rapi dan bersih. Seperti tempat yang selalu dirawat dan dibersihkan secara rutin. Hanya saja, bangku-bangku itu ditata keatas meja dan tak pernah lagi diduduki seorang pun pelanggan semenjak lima tahun yang lalu. Peralatan yang ada di coffee shop itu pun masih sangat lengkap.
Flashback
Dama yang kala itu berusia dua belas tahun membuka kasar pintu 'Roxean Coffe Shop'. Seragam SMP masih melekat ditubuhnya. Begitupun dengan tas gendong dan sepasang sepatu yang ia kenakan. Mendekat pada pria berjas dan berdasi rapi yang duduk disalah satu kursi cafe sembari memijat pelipis dengan kedua tangan yang bertumpu pada meja. Kacamata yang bertengger dihidung mancung itu pun tak bisa menutupi rasa lelah yang nampak pada sorot mata Bara.
"Kenapa Papa tutup tempat ini?! Kenapa, Pa?!" tanya Dama.
Bara menatap anak semata wayangnya itu.
"Tidak perlu kamu mengurusi hal seperti ini. Fokusmu hanya sekolah dan belajar dengan benar," ucap Bara.
"Papa tau, 'kan, kalau tempat ini adalah tempat favorit Mama, lalu kenapa Papa malah menutup kafe ini?! Kenapa Mas Bram dan Mas Danu dipecat? Tempat ini justru hidup karena mereka! Dan sekarang Papa malah bertindak dengan memecat mereka dan menutup tempat ini? Mau Papa apa, sih?! Kalau memang karena Mas Elang yang memutuskan berhenti, seharusnya Papa juga nggak perlu pecat Mas Bram dan Mas Danu!" ucap Dama.
"Tidak ada lagi kafe. Tidak ada lagi rumah lama. Kita akan pindah ke Australia," ucap Bara.
"Maksud Papa?"
"Kamu akan tinggal bersama Papa di Australia. Kita berangkat satu minggu lagi," ucap Bara.
"Pah! Papa nggak bisa, dong, seenaknya ngambil keputusan tanpa bicara dulu dengan Dama! Dama nggak mau tinggal di Australia. Dama mau tetap disini. Dan Dama mau Papa nggak tutup tempat ini!" ucap Dama.
"Dama cukup! Papa nggak mau berdebat sama kamu. Cukup turuti apa mau Papa. Tidak ada gunanya kamu menolak. Kamu akan tetap pergi bersama Papa ke Australia. Disana kamu akan bersekolah dan melanjutkan pendidikan dibangku kuliah," ucap Bara.
"Selalu aja Papa membuat aturan tanpa peduli apakah Dama akan setuju atau tidak. Papa pergi aja sendiri. Tanpa Papa pun Dama akan tetap melanjutkan hidup Dama. Kalaupun Papa bersikeras menutup tempat ini, maka Dama juga akan bersikeras membuka kafe ini lagi," ucap Dama yang kemudian berlalu pergi meninggalkan coffee shop.
Dama berjalan menuju bar counter. Tangan Dama menyentuh meja bar tempat Mamanya biasa berkutat dengan berbagai alat untuk membuat minuman kopi. Dama hanya tersenyum simpul. Seolah ia bisa melihat bayangan Mamanya yang bekerja disana dengan sepenuh hati. Bahkan kehangatannya masih terasa ketika ia teringat kembali ke masa itu.
Flashback
Roxean coffee shop siang itu belum lagi kedatangan pelanggan. Dua pegawai lain yang biasa membantunya bekerja disibukan dengan hal lain. Mas Elang pergi membeli biji kopi yang hampir habis, sementara Arika sedang membereskan salah satu meja yang baru saja ditinggal pergi pelanggan. Renata memanfaatkan waktu untuk membuat secangkir capuccino di balik counter. Melakukan langkah demi langkah dalam pembuatan kopi dengan begitu lihai. Dimana disana juga ada Dama kecil yang kala itu umurnya hampir menginjak usia tujuh tahun tengah duduk dikursi didepan counter. Disela kegiatannya, sesekali Renata melemparkan senyum pada bocah yang tak lepas memperhatikan setiap geraknya. Tiga bulan lagi, Dama akan genap tujuh tahun. Dama bahkan sudah meminta kado pada Renata ketika Dama akan berulang tahun yang ke tujuh nanti. Renata pun berjanji akan mengabulkan permintaan anak semata wayangnya itu.
Secangkir kopi dengan latte art berbentuk pohon itu telah selesai dibuat dan disajikan diatas meja.
"Pohon?" ucap Dama.
Renata tersenyum.
"Iya. Kamu tau kenapa Mama membuat latte art pohon alih-alih bentuk hati atau yang lainnya?"
Dama menggeleng pelan dengan wajahnya yang begitu polos.
"Mama ingin kamu bisa hidup layaknya pohon. Pohon yang kokoh berdiri meskipun diterpa badai sekalipun. Meskipun dedaunan mu jatuh karena diterpa angin, kamu justru menumbuhkan daun baru yang membuat pohon mu semakin kuat berdiri. Meskipun kamu tak mendapat asupan air untuk bertahan hidup, tak membuat kamu kemudian menyerah dan lebih memilih mati begitu saja. Bahkan ketika pohon mu akhirnya ditebang hingga membuat kamu tak lagi memiliki alasan untuk berdiri, kayumu tetap masih bisa bermanfaat bagi orang lain. Tak peduli sebanyak apapun masalah yang kamu hadapi kelak, Mama hanya ingin kamu kuat bertahan dan menjadi kebanggan untuk Mama. Karena dunia adalah panggung bagi setiap manusia. Dan setiap manusia itu menjadi peran utama di kehidupannya masing-masing," ucap Renata.
Dama tersenyum.
"Dama ingin jadi pohon," ucap Dama.
Renata ikut tersenyum sembari mengelus lembut kepala sang anak.
"Dama tahu apa yang membuat Mama kuat?"
Dama menggeleng pelan.
"Karena Dama telah hadir di hidup Mama. Dama adalah kekuatan yang membuat Mama bertahan. Hanya Dama lah alasan kebahagiaan Mama. Kalau Dama bersedih, Mama pasti juga akan ikut sedih. Kelak, Dama pasti akan mengerti mengapa ada cobaan berat yang mungkin akan datang menghampiri hidup Dama. Itu karena Tuhan ingin Dama menjadi sosok yang kuat dan tangguh. Tuhan ingin Dama tahu bahwa setiap masalah pasti akan menemukan jalan keluar. Jangan hanya terpaku pada permasalahannya, tapi pikirkanlah solusi untuk menyelesaikan masalah itu," ucap Renata.
"Tapi, Dama selalu melihat Mama dan Papa bertengkar. Kata Nenek, itu karena Mama dan Papa sedang ada masalah. Apakah Mama dan Papa belum menemukan jalan keluarnya? Dama jadi ikut sedih ketika melihat Mama selalu menangis," ucap Dama dengan begitu polosnya.
Renata terdiam. Namun, kembali mengukir senyum walau terlihat dipaksakan.
"Iya benar. Itu karena Mama dan Papa masih belum menemukan jalan keluarnya. Mama dan Papa pasti akan segera menemukannya. Maafkan Mama dan Papa karena membuat Dama selalu bersedih," ucap Renata.
Dama mengangguk. "Tidak apa-apa. Dama mengerti," ucapnya.
Setitik air mata jatuh mengenai sepatunya. Itu adalah hari terakhir ia dan Mamanya bersama. Kata-kata itu seolah menjadi pesan terkahir sebelum Mamanya pergi. Dan suatu saat nanti, ia pasti akan membuka bisnis coffee shop itu kembali. Itu adalah satu janjinya kepada sang Mama.
....