________________
○○○
Tak peduli belati macam apa yang akan menghunus hingga ke ulu hati.
Selama ego sakit yang memegang kendali, jangan harap ada jalan kembali.
________________
....
PAGI ini, Farhan, anak berusia enam belas tahun berkacamata minus tebal dengan kancing seragam paling atas yang selalu dikancingkan kembali dipertemukan dengan hari apes dalam hidupnya. Ia terlambat lagi dan harus serba terburu-buru. Ia sampai tak sarapan mengingat tidak ada waktu lagi jika harus mengurangi beberapa menit untuk sekedar mengisi perut. Angkutan kota yang ditumpanginya pakai acara bocor sekira jarak lima puluh meter dari sekolahnya. SMA Pelita Jaya. Terpaksa Farhan berlari hingga sampai didepan pintu gerbang yang tertutup dan harus berhadapan dengan security. Ia juga harus melapor ke guru piket karena terlambat. Kesialan yang dialami anak kelas 10 MIPA 2 itu nyatanya tak sampai disitu. Ia ingat betul siapa pengajar pertama dijadwal pelajarannya pagi ini. Sampai dikelas, guru pria berusia dua puluh sembilan tahunan itu membiarkan. Hal yang tak biasa bagi anak-anak lain mengingat guru mereka, Pak Leo, tidaklah bisa dengan mudah memaafkan kesalahan yang dianggap cukup fatal. Yaitu terlambat masuk dijam pelajarannya.
Baru duduk ditempatnya, Farhan sudah ditodong oleh satu teman kelas yang memapah tumpukan buku tulis ditangan sebelah kiri.
"Mana buku kamu tugas kamu, Han?" tanya Ainun.
"Sebentar, ya!" kata Farhan.
Isi tas dicek. Tak yakin, Farhan mencoba cek lagi. Wajahnya mulai pucat. Sementara Ainun nampak tak sabar melihat Farhan masih saja mengacak-acak isi dalam tas.
"Gimana, Han? Ada nggak?" tanya Ainun.
Farhan menggeleng. Ainun berlalu.
Hingga sampai semua buku tugas dikumpulkan dimeja guru, Pak Leo buka suara.
"Ada yang belum mengumpulkan?" tanya Pak Leo dengan tatapan mengintimidasi.
Farhan dengan keberanian seujung kuku mengangkat tangan.
"Keluar! Saya tidak ingin mengajar anak yang susah untuk diajak disiplin!" kata Pak Leo tanpa melihat pada Farhan.
Teman-teman Farhan merasa iba tentu saja. Farhan kemudian keluar dari kelas. Tanpa disuruh, Farhan sudah berdiri dengan mengangkat satu kaki dan menjewer kedua telinga diluar kelasnya.
"Contoh itu! Baru anak kelas sepuluh sudah terlambat berkali-kali. Tugas juga tidak dikumpulkan. Mau jadi apa nanti?" kata Pak Leo.
Farhan jelas mendengar hal itu. Ini memang bukan pertama kalinya Farhan datang terlambat. Anak-anak lain juga tahu betul alasan keterlambatan Farhan. Farhan adalah anak yatim piatu. Ia hidup dengan bergantung pada Paman dan Bibinya. Demi membalas budi kebaikan Paman dan Bibinya, Farhan harus bekerja setiap hari dibengkel milik sang Paman sepulang sekolah hingga larut malam pukul sembilan. Atau kalau tidak, Farhan membantu Bibinya diladang untuk berkebun. Tapi Pak Leo, bukanlah tipe guru yang akan mendengarkan apapun alasan dari anak muridnya. Baginya, disiplin itu penting. Dan mematuhi aturannya itu jelas adalah perintah.
Dama, pria berkacamata minus itu juga terlambat. Dari jauh ia melihat ada adik tingkat yang dihukum. Ketika melewati kelas, Dama sempatkan untuk melihat kedalam demi melihat siapa guru yang mengajar. Dama terlihat masa bodoh. Ia berlalu begitu saja menuju lantai dua.
....
Kantin sudah ramai. Sebentar lagi bel masuk. Farhan sudah selesai. Ia bergegas mengembalikan tempat makan ke meja counter. Tapi karena tak memperhatikan jalan, sisa kuah dalam tempat makan itu tumpah mengenai baju dan sepatu kulit milik orang yang paling disegani disana. Pak Leo. Melihat siapa yang ia tabrak, Farhan kembali memucat. Tangannya bergetar hebat.
"Kamu!" teriak Pak Leo.
Beberapa orang mulai memperhatikan mereka.
"Bisa nggak, sih, kamu nggak bikin masalah terus sama Saya?!" teriak Pak Leo.
Bak menjadi pemeran utama. Kedua manusia itu sontak menjadi pusat perhatian seisi kantin. Tak terkecuali Dama. Pria yang kala itu masih asyik menghabiskan makan siangnya disalah satu meja kantin seorang diri.
"M-Maafkan Saya, Pak! S-Saya tidak sengaja!" kata Farhan tak berani menatap.
"Makanya kalau punya mata itu dipakai! Kamu tahu nggak? Berapa harga sepatu yang Saya pakai?! Mau kamu kerja dibengkel Pamanmu sampai kamu mati pun, nggak akan cukup untuk bayar ganti sepatu Saya!!" teriak Pak Leo lagi.
Anak-anak menatap Farhan iba. Pasalnya, ini juga bukan kali pertama anak-anak dimarahi didepan umum seperti ini oleh Pak Leo. Semua yang mencari masalah dengan Pak Leo tidak akan berakhir baik.
"Sekarang mau apa kamu?! Lihat sepatu Saya! Kotor tahu nggak?!" teriak Pak Leo lagi.
"Saya benar-benar minta maaf, Pak!"
"Kamu tahu berapa harganya? Empat ratus juta. Sanggup kamu bayar?!" kata Pak Leo.
Farhan menggeleng pelan.
"Iyalah. Mana mungkin kamu mampu. Kamu masuk ke sekolah ini saja lewat jalur beasiswa. Cobalah sadar untuk tidak selalu membuat masalah," kata Pak Leo.
Farhan hanya menatap sepasang sepatunya yang lusuh. Ia sama sekali tak berani untuk sekedar menatap mata pria jangkung yang ada didepannya, atau bahkan menengadahkan kepala untuk meraup rakus pasokan oksigen yang kian terasa menyesakkan dalam dada. Tak perlu ditekankan pun, Farhan sudah sepenuhnya sadar akan posisinya. Ia hanyalah anak miskin yang beruntung memiliki otak cerdas hingga ia tak perlu susah payah mengeluarkan biaya untuk segala kebutuhan sekolahnya. Hanya saja, semakin sadar, semakin ia lupa bagaimana cara bernapas ketika kata-kata merendahkan itu selalu menyapa indra pendengarannya oleh orang yang sama.