________________
○○○
Jilatan api bermula dari setitik Bara.
Kian menjalar dan meluluh lantahkan apa yang ada.
Laksana pedang yang membelah dada.
Luka yang menganga tak bisa secepatnya hilang begitu saja.
________________
....
KEHENINGAN menyelimuti ruang Kepala Sekolah yang diisi oleh tiga orang dewasa dan satu orang remaja. Dama, Pak Kepala Sekolah, Pak Ridho dan Pak Leo. Dama duduk berjarak dengan Pak Leo. Lama menunggu, seseorang yang ditunggu datang. Pria paruh baya berusia sekitar lima puluh enam tahun masuk kedalam ruangan diantar oleh guru lain, Pak Adit. Dama memutar bola mata malas melihat siapa yang datang.
"Saya sudah mendengar apa yang telah terjadi. Saya sebagai Ayah Dama memohon maaf yang sebesar-besarnya karena anak Saya telah menimbulkan kekacauan ini. Saya dapat meyakinkan kalau Dama tidak akan mengulangi hal semacam ini lagi. Betul, 'kan, Dama?" tanya Ayah Dama, Indra.
Indra yang memang sudah mulai menetap lama di Australia itu pulang ke Indonesia selama tiga hari hanya untuk kepentingan bisnis. Namun, ketika selesai bertemu dengan client, guru sekolah Dama menelpon dan mengatakan Dama membuat masalah disekolah. Segera saja Indra meminta sopir untuk mengantarkannya ke SMA Pelita Jaya.
"Disaat anak orang hampir mati tenggelam, Papa tahu apa yang dikhawatirkan pimpinan tertinggi disekolah ini?" tanya Dama.
Pak Kepala Sekolah melirik Dama.
Ingatan ketika Farhan hampir mati tenggelam itu masih melekat kuat dalam pikiran Dama. Hal itulah yang membuat Dama tak bisa lagi menahan apa yang selama ini ia pendam. Saat itu Dama hendak berlari dan terjun ke kolam renang untuk menyelamatkan Farhan, namun Pak Wahyu sudah lebih dulu menyelamatkan nyawa Farhan. Syukurlah Farhan tidak kenapa-napa. Hanya saja, anak itu mungkin masih trauma sekarang.
"Disaat-saat seperti itu yang ditakutkan dan dikhawatirkan bukan kondisi anak didiknya, tapi reputasi guru dan nama baik sekolah. Andai Dama yang ada diposisi anak itu, apa Papa akan diam aja? Sabar seperti apalagi yang harus ditanggung siswa-siswi disini kalau sampai detik ini masih belum ada orang yang berani menyuarakan," kata Dama.
Pak Kepala Sekolah hanya diam. Begitupun dengan guru yang lain.
"Itu bukan urusan kamu, Dama! Kamu tahu apa yang baru kamu bicarakan? Dimana letak sopan santun kamu terhadap guru-guru kamu? Dia yang mengajarkan kamu sampai kamu jadi anak pintar?!" kata Indra.
"Jelas ini urusan aku karena aku sekolah disekolah neraka ini, Pah!! Buat apa pintar kalau kepintarannya itu nggak pernah ada manfaatnya buat orang lain. Papa nggak akan pernah tahu gimana muaknya aku menahan diri setiap kali melihat hal yang nggak seharusnya terjadi dilingkungan sekolah itu selalu aja dibiarkan. Apa kekerasan itu hal yang lumrah dilakukan seorang guru terhadap muridnya hanya karena mengikuti mood si guru itu. Orang-orang yang seperti itu seharusnya sudah dicabut saja izin mengajarnya dari dulu. Iya, 'kan? Kalau bisa, sih, pakai baju orange siapa tahu bisa sedikit sadar," kata Dama.
"DAMA CUKUP! MAU SAMPAI KAPAN KAMU BERTINGKAH SEPERTI INI, HAH? APA PERLU PAPA BAWA KAMU IKUT MENETAP DI AUSTRALIA SUPAYA KAMU SADAR?!" bentak Indra.
"Selamanya Papa nggak akan bisa bawa aku kerumah yang nggak pernah jadi rumah buat aku, Pah!" kata Dama.
"Kenapa nggak bisa? Papa bahkan bisa bawa kamu sekarang juga kesana kalau kamu masih belum juga sadar sama kelakuan kamu!" ucap Indra.
"Oh, iya lupa! Papa itu, 'kan, juga berteman dekat dengan pemilik sekolah ini. Jadi, nggak heran kalau Papa lebih bela orang lain daripada anak sendiri meskipun anaknya itu terlihat salah padahal sudah berada di jalur yang benar," ucap Dama.
"Dama, kelakuan kamu sangatlah tidak terpuji. Walau bagaimanapun dia itu Ayah kamu. Hormatilah dan berbicaralah dengan perkataan yang baik!" tutur Pak Kepala Sekolah.
"Bapak ngomongin soal terpuji tapi yang ditegur cuma Saya. Itu, loh, Pak Leo memangnya pernah bersikap terpuji? Anak SD saja tahu mana yang baik mana yang buruk. Masa kalah sama yang lulusan magister dan penyandang gelar doktor?" kata Dama.
PLAK!
Tamparan keras Indra mendarat dipipi kanan Dama.
"Kalau Ibumu masih hidup, dia pasti menyesal karena telah melahirkan anak seperti kamu!" kata Indra.
....
"Benar-benar tidak tahu diuntung! Papa besarin kamu dan sekolahin kamu bukan untuk jadi anak pembangkang yang sangat tidak bermoral! Bikin malu saja!" ucap Indra yang menggema diruang tengah sebuah rumah besar bernuansa putih.
Indra masih sangat kecewa dengan Dama. Jika Dama memang tidak bisa bersikap sopan dengannya, Indra mungkin masih bisa bersabar. Tapi, Dama bahkan tidak memiliki sedikitpun rasa sopan santun terhadap para guru disekolahnya dan hanya membuat malu.
"Papa bilang Mama akan menyesal punya anak seperti Dama," celetuk Dama.
Rupanya Dama tengah mengungkit perkataan diruang Kepala Sekolah beberapa waktu lalu. Dama memang sama sekali tidak mau meminta maaf. Dan Indra lah yang kemudian berbicara secara pribadi diruangan itu tanpa Dama. Dama hanya menunggu diluar ruangan hingga Indra kemudian membawanya untuk pulang.
"Papa bicara seperti itu seolah-olah Papa yang paling tahu isi hati Mama. Yang ada Mama kali yang menyesal nikah sama Papa. Selalu aja Mama nangis gara-gara Papa. Papa nggak pernah, 'kan, sadar sama hal itu?" kata Dama.
Indra tak menanggapi dan lebih memilih membicarakan hal lain.
"Papa besok sudah harus berangkat ke Australia. Apapun konsekuensi dari pihak sekolah nanti, kamu harus bisa terima. Kalaupun kamu sampai dikeluarkan, Papa akan pindahkan kamu ke sekolah di Australia. Biar sekalian kamu tinggal sama Papa sampai kamu muak!" kata Indra.
"Papa nggak perlu repot-repot bawa aku kesana. Dama bisa tinggal sendiri. Ini rumahku, Pa! Bukan di Australia. Dan nggak usah buat Dama semakin benci sama Papa dengan selalu memaksakan apa yang menjadi kehendak Papa!" ucap Dama yang kemudian berlalu menuju kamarnya dilantai dua.
Indra memijat pelipisnya yang terasa kian pening. Indra tahu Dama anak yang mandiri dan pandai menjaga diri. Namun, Dama tak akan pernah bisa lepas dari sosok seorang Ayah yang akan tetap memikirkan bagaimana nasib sang anak kedepannya selama ia masih bernapas. Dama, adalah satu-satunya keturunan yang kelak akan meneruskan segala bisnis yang semenjak dulu telah ia bangun.
"Sampai kapan pun kamu nggak akan pernah tahu, Dama..." lirih Indra.