“Allahu akbar!”
Seperti biasa, Prasetya yang menjadi imam salat Subuh bagi keluarga kecilnya, memimpin gerakan sujud. Istrinya, pun kedua buah hati mereka, Redam dan Cemara, mengekor gerakan laki-laki yang telah memelihara ratusan uban di kepala tadi. Seharusnya, selepas sujud, Prasetya cukup duduk takhiyat akhir, lalu mengucap salam untuk menyelesaikan ritual salat Subuh tersebut. Tapi sayang, dua puluh detik berlalu dan meski Redam telah memberi isyarat teguran dengan mengucap ‘Subhanallah’ sebanyak dua kali, Prasetya tidak jua bangkit dari sujud takzimnya.
Merasa ada yang janggal, Redam nekat menjulurkan tangan kirinya ke arah kaki kanan sang bapak demi untuk membangunkan lelaki paruh baya tersebut. Redam ingat, sewaktu masih bocah dulu, ia pun kerap tertidur saat sedang sujud. Kantuk di matanya kala itu belum juga reda, meski dingin air wudu telah membasuh wajah. Dan saat ini, Redam berharap bapaknya pun demikian, pulas lantaran semalaman begadang mengikuti jadwal ronda keliling. Namun, begitu telapak tangan Redam merasakan kalau sepasang kaki tadi terasa dingin, pun setelah di detik berikutnya tubuh sang bapak roboh di atas sajadah, dengan air mata yang pecah, pemuda dua puluh tiga tahun itu segera maju dan menggantikan posisi bapaknya sebagai imam.
Redam tahu, di belakang, ibunya dan Cemara pun tengah menantikan instruksi untuk bangkit dan bertakhiyat, maka dengan suara parau pemuda tersebut berlafaz, “Allahu akbar!”