Penyesalan memang acap datang belakangan. Menurut Redam, itu pula yang mungkin kini tengah bergelayut di dada ibunya yang tengah disesaki duka, di sisi jenazah sang bapak yang tertutup selembar kain jarik. Gerimis masih jatuh satu per satu dari ceruk mata perempuan paruh baya yang tampak memerah itu. Barangkali di kedalaman mata si empunya, tersimpan mata air yang maha luas hingga tak kunjung menjelma gersang.
Seharusnya Marlina tahu kalau sebelum Prasetya wafat, ia sudah lebih dulu memberikan pertanda. Namun, karena kemarahan akibat perdebatan hebat yang sempat pecah sejak siang kemarin, Marlina sengaja tak menggubris. Kala itu, Prasetya yang telah berulang kali meminta maaf, tiba-tiba saja merengek seperti seorang bocah ketika minta dimasakan tempe bacem dan sambal terasi oleh Marlina. Dengan bara yang masih menghangat di dalam dada, tentu saja Marlina ogah. Bahkan, melihat wajah Prasetya saja, perempuan itu sudah muak bukan main. Padahal, umur pernikahan mereka sudah menginjak dua puluh delapan tahun, waktu yang tidak sebentar untuk menjalani sebuah ikatan rumah tangga.
Masalah yang memicu pertengkaran mereka kemarin siang sebenarnya cukup sepele: Marlina menemukan setumpuk nota dan kwitansi pembayaran untuk hal-hal yang sama sekali tidak pernah ia ketahui. Padahal, selama ini, Prasetya selalu jujur padanya, meski hanya untuk urusan kecil—yang membuat rumah tangga mereka selalu hangat dan harmonis. Namun, entah kenapa, kemarahan Marlina kemarin seolah tidak sudi untuk begitu saja minggat dari kepala. Alhasil, setelah semalaman ia dan Prasetya tak banyak bicara seperti yang sudah-sudah, lelaki yang amat Marlina cintai itu tiba-tiba dipanggil Tuhan.
Marlina kembali menghapus aliran bah di sudut matanya, yang serupa atap bocor kala musim penghujan bertandang. Perempuan paruh baya itu kembali menyesalkan keputusannya untuk marah berkepanjangan, pun mengabaikan permintaan Prasetya yang menuntut dimasakkan makanan favoritnya. Menjadi penyesalan tersendiri, jua menjelma sayat sembilu di dada Marlina. Andai saja sore kemarin ia mau sedikit meredam ego atas amarahnya, barangkali penyesalan ini tak akan ada. Terlebih, menjelang salat Magrib dan Isya kemarin, Marlina sengaja mencari celah alasan untuk tak menjadi makmum dalam salat yang diimami Prasetya. Perempuan itu mengatakan pada Redam dan Cemara kalau dirinya sedang ingin buang air, perutnya mulas, sehingga mengizinkan mereka untuk salat lebih dulu bersama sang bapak. Lagi, Marlina mengatakan kalimat tadi tanpa mau menoleh sedikit pun ke arah wajah Prasetya yang terlihat murung setelah berjam-jam ia diamkan. Sungguh, mengingat semua itu membuat hati Marlina semakin sakit. Pedih. Bercempera, lalu berkubang dalam lubang penyesalan.
Kini, semua sudah terjadi. Penyesalannya telah bertandang. Prasetya sudah pergi untuk selamanya pagi tadi. Memberi jarak paling jauh pada sebuah hubungan suami istri: kematian. Pun meninggalkan sebuah tanda tanya besar di kepala Marlina: mengenai ke mana larinya barang-barang dan uang yang lelaki itu hamburkan berdasarkan nota-nota dan kwitansi yang Marlina temukan kemarin—penyebab kemarahannya seketika memelesat—di dalam sebuah kotak kayu yang sebenarnya tidak boleh dibuka oleh siapa pun, selain Prasetya.