Sepandai-pandainya bara api disimpan, ia akan tetap berusaha menghirup udara, menjalari apa saja di dekatnya, lalu berasap, dan membakar sekitar. Kira-kira seperti itulah yang kini Redam pikirkan mengenai apa yang Prasetya lakukan di belakang keluarganya. Padahal, selama ini Redam selalu menganggap kalau Prasetya adalah sosok lelaki sejati yang begitu sempurna menjalani tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga, sekaligus figur ayah yang begitu hangat bagi kedua anak-anaknya. Redam juga ingat bagaimana sejak kecil bapaknya itu selalu mengajarkan banyak hal mengenai petuah hidup.
“Menjadi lelaki sejati itu enggak mudah, Dam. Harus bisa dipercaya ucapan dan perbuatannya, juga harus mampu memegang teguh segala tanggung jawab. Nah, sebagai anak laki-laki yang akan tumbuh seiring waktu berjalan, kamu pun harus bisa mengemban segala tanggung jawab yang akan kamu hadapi ke depannya. Kamu jaga Ibu dan Ara. Cepat atau lambat, Bapak yakin, Bapak akan pergi lebih dulu daripada kalian.”
“Pergi? Memangnya Bapak mau ke mana?”
“Ke tempat di mana semua hal di dunia ini akan berujung, dan menjadi alasan mengapa kita semua diciptakan.”
Redam yang masih duduk di bangku SMA kala itu, hanya menatap bingung wajah Prasetya yang sendu. “Maksud Bapak?” tanya Redam lagi.
“Kematian, sesuatu yang pasti akan terjadi dan abadi.” Prasetya menjeda sejenak ucapannya, lalu memandangi wajah Redam yang seolah belum siap jika harus diajak berdiskusi mengenai kematian. “Bapak tidak pernah tahu kapan Bapak akan dipanggil Tuhan. Namun, Bapak merasa harus mempersiapkan segalanya jauh lebih awal. Karena yang namanya mati, tidak bisa diprediksi kapan dia akan datang menjemput. Tak pandang usia, tak peduli sehat ataupun sakit. Yang terpenting, ketika Bapak kelak harus pergi, Bapak harap sudah membekali kamu dengan segala petuah dan pegangan hidup.”
Redam terdiam. Tak sanggup menyambung ataupun mendebat ucapan bapaknya. Sebagai anak tertua, dan satu-satunya anak lelaki, memang sudah menjadi kewajiban Redam untuk menjaga Cemara dan ibunya jika sewaktu-waktu hal buruk menimpa sang bapak. Redam pun sudah terbiasa menekan egonya sejak usia belia. Termasuk ketika Cemara sering menuntut, Redam akan dengan lapang dada selalu mengalah. Baginya, air mata sang adik, adalah hal yang harus ia jaga baik-baik. Setiap kali Cemara menangis karenanya, Redam akan langsung merasa gagal menjadi seorang kakak yang semestinya mengayomi. Lalu, sesering apa pun Cemara dinomorsatukan dalam keluarga, maka sesering itu pula Redam akan selalu ikhlas menjadi yang nomor dua. Sungguh, selama ini Redam selalu diajarkan bersikap dewasa sejak usianya yang masih belia.
Redam pun masih ingat saat dulu Cemara pernah memecahkan jendela teras, saat mereka masih duduk di bangku sekolah dasar dan sedang bermain sepakbola di halaman. Kala itu, Cemara yang kebetulan menendang bola terlalu keras, tak sengaja mengenai salah satu jendela. Suara kaca yang pecah berderai menghantam lantai, seketika terdengar. Marlina yang datang mendekat, langsung memarahi Redam. Meski sebenarnya bukan ia yang menjadi pelaku. Tapi, bagi Redam, ia sudah terbiasa menjadi pihak yang tersalahkan.
Pun pernah suatu waktu, ketika mereka sedang berjalan kaki sepulang sekolah, sebuah petaka terjadi. Saat itu Cemara baru duduk di kelas 2, sedang Redam di kelas 6. Cemara yang sembrono, tiba-tiba menyeberang sembarangan. Saat itu, ada sebuah sepeda motor yang kebetulan melintas dengan cukup kencang. Redam yang kaget, buru-buru menangkap tubuh Cemara demi melindungi sang adik. Di detik-detik berbahaya tersebut, Redam berhasil menyambut tubuh Cemara dan berguling-guling di tepi trotoar. Nahas, lutut Cemara menderita luka gores. Gadis kecil itu menangis sejadi-jadinya. Tak sampai di situ, begitu tiba di rumah, lagi-lagi Redam menjadi korban limpahan kemarahan ibunya karena dianggap tak becus menjaga sang adik. Perempuan itu sama sekali tak tahu duduk perkaranya dan main salahkan begitu saja. Marlina bahkan tak tahu kalau saat itu Redam sedang menahan luka lebih parah dan nyeri di siku, bahu, pun di pinggangnya demi untuk menjaga tubuh sang adik agar tidak terbentur aspal. Sekuat tenaga, bocah laki-laki itu berusaha untuk tak merengek ataupun menangis.
Barulah ketika bapaknya memperhatikan jejak lebam di tubuh Redam, lelaki bersuara bariton itu langsung tahu kalau Redam tidak sedang baik-baik saja. Begitu ditanya apa yang sebenarnya terjadi, barulah Redam menjelaskan detail kronologi kejadian yang menimpa mereka. Selama ada Prasetya, Redam merasa kalau lelaki paruh baya itu selalu bisa bijaksana, adil dalam memandang dirinya dan Cemara. Lelaki itu bisa membagi rata kasih sayangnya. Meski, sekali lagi, Redam tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut dan menganggap kalau adik perempuannya itu tentu lebih banyak membutuhkan kasih sayang.
Seperti kata bapaknya tempo hari, kalau menjadi lelaki sejati itu tidaklah mudah. Maka, demi kebahagiaan sang adik, Redam rela mengorbankan apa pun yang ia miliki dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Termasuk ketika pagi tadi bapaknya mendadak dipanggil Tuhan. Redam harus bisa terlihat kuat di hadapan adiknya, demi memberikan penghiburan. Meskipun jauh di dalam lubuk hatinya, pemuda tersebut merasa sangat kehilangan sosok lelaki yang selama ini ia jadikan panutan dan dari bibirnya pula kerap menggelontorkan ragam petuah hidup. Sebelum kemudian Redam harus mengetahui sebuah rahasia besar yang selama ini Prasetya simpan dari siapa pun, termasuk dari dirinya, Cemara, pun sang ibu: mengenai perempuan yang saat ini tengah tergugu di sisi jenazah Prasetya.
Redam mengenal perempuan paruh baya itu dengan nama Yohana. Ibu dari Andaru, mantan rekan kerjanya, sekaligus gadis yang selama ini berhasil mencuri hatinya. Pernah sekali Redam bertemu dengan Yohana, perempuan berambut sebahu dan bermata elang tersebut. Pasalnya, sejak kali pertama mereka bertemu, Yohana langsung melontarkan penolakan atas hubungan yang baru mekar di antara Redam dan putrinya itu.