Siang kemarin, jasad Prasetya baru selesai diliangkan. Lantas, pagi ini, di ruang makan yang sederhana, orang-orang terkasih yang lelaki itu tinggalkan, sedang menatap sebuah kursi kosong di hadapan mereka. Beberapa saat lalu, Marlina menarik kursi itu ke belakang, membukanya, dan meletakkan sepiring nasi mengepul yang baru diambilnya dari dalam rice cooker. Perempuan itu lupa kalau mulai hari ini, ia tak perlu repot-repot meletakkan piring nasi di sana. Sebab, pemilik kursi tersebut kini telah tenang di dalam hening pusaranya.
“Bu, nasinya lebih satu. Bapak sudah enggak ada.” Cemara berucap dengan suara pelan yang dibuat sehalus mungkin demi tidak menyinggung hati sang ibu. Pagi ini, Redam dan Cemara memang belum berniat pergi ke mana-mana. Musibah kehilangan orang tersayang, tentu bisa menjadi toleransi tersendiri bagi ketiganya untuk sementara tak meninggalkan rumah. Kecuali Marlina, ia harus sesekali menyinggahi warung di dekat kompleks untuk sekadar membeli keperluan sehari-hari.
Marlina yang masih tertegun di samping kursi kosong Prasetya, segera menggeser sepiring nasi tadi ke tengah-tengah meja makan, meletakkannya tepat di antara mangkuk sayur bening dan tempe goreng.
“Kalau kalian mau tambah nasi, ambil saja dari sana,” ujar Marlina kemudian dengan wajah yang kembali berubah sendu.
Rasa kehilangan yang belum tunai itu, lagi-lagi tumbuh di dada Marlina, bersemi, dan tentu tak akan mudah dihilangkan begitu saja dari kepala. Apalagi, bagi perempuan itu, Prasetya adalah sosok belahan jiwa. Sampai detik ini, Marlina bahkan tidak tahu bagaimana caranya untuk menjalani hari-hari ke depan tanpa kehadiran sosok lelaki itu. Dengan kepergian Prasetya, ibu dua orang anak itu merasa beban yang dipikulnya akan semakin berat. Tanpa tulang punggung keluarga, ia harus pandai-pandai mengeratkan ikat pinggang, memutar otak, dan mencari pemasukan nafkah bagi keluarga kecilnya. Apalagi beberapa waktu lalu, Redam diberhentikan dengan alasan yang menurut Marlina tidak jelas. Setiap kali perempuan itu mencoba menanyakan mengenai hal tersebut, maka dengan enteng pemuda tersebut akan menjawab sekadarnya.
“Anggap saja rezeki Redam bukan di sana, Bu.”
Kalau sudah mendapatkan jawaban singkat yang sedemikian, Marlina tak akan mampu berbuat banyak. Perempuan itu kenal betul siapa putranya itu. Seperti namanya, Redam jarang bicara. Dan sekalinya bicara, ia tidak akan mau mendebat ataupun didebat. Diam, adalah keputusan yang kerap dipilih Redam sebagai sebuah solusi paling manjur.
Marlina lantas menjatuhkan bobot tubuhnya ke atas bantalan kursi. Di kepala Marlina yang kini terasa berdenyut, berkelindan pula ingatan tentang perempuan bernama Yohana yang kemarin bahkan turut mengantar jenazah Prasetya hingga diturunkan ke liang makam. Hal itu tentu saja membuat puluhan pasang mata pelayat yang hadir di sana, ikut menerka-nerka tentang siapa sosok Yohana yang sebenarnya. Tak terkecuali dari pihak keluarga Marlina. Mereka terus saja menuntut penjelasan, hingga orang-orang itu pada akhirnya lelah sendiri karena keteguhan bibir Marlina yang tak kunjung menyuara. Baginya, bukanlah waktu yang tepat untuk membahas hal yang bisa menimbulkan luka, di tengah suasana haru yang berkecamuk. Maka, mengikuti perangai Redam, diam adalah jawaban yang paling tepat untuk ia ambil.
Tak ingin berlama-lama mengarungi dan bergulat dengan kenangan, Marlina kembali memaksakan diri untuk larut dalam ritual sarapan mereka. Diambilnya sepotong telur dadar dari dalam piring lauk dan ia letakkan ke atas nasi putih. Sialnya, Cemara tiba-tiba malah menggelontorkan sebuah pertanyaan yang sontak mampu membuat Marlina seketika menghentikan aktivitasnya.
“Bu, siapa perempuan yang kemarin nangis di makam Bapak?” tanya gadis itu.