Setelah segala yang terjadi dalam hidup Redam, kini takdir seolah kembali mempermainkan dirinya dan Andaru melalui sebuah konspirasi alam semesta. Redam tahu ada begitu banyak armada TransJakarta yang semestinya melintasi rute yang sama. Namun, kenapa takdir seolah telah mengatur sebuah rencana untuk kembali menjatuhkan lewat satu pertemuan yang tak terduga. Membuat apa yang ada di depan mata, menjadi sebuah kecanggungan belaka.
Dengan netra saling menatap, Redam dan Andaru memilih diam beberapa sesaat, sebelum pada akhirnya mereka sepakat membuang arah pandangan masing-masing. Seperti halnya para penumpang yang dipertemukan atas dasar ketidaksengajaan, keduanya pun seolah menjelma dua sosok asing yang sekadar berpapasan. Tidak terjadi apa-apa di menit-menit selanjutnya, tanpa senyum dan sapa seperti biasa. Di hiruknya seisi bus, di antara aroma tubuh orang-orang yang berdiri sembari berjejalan tadi, Redam seolah mampu mencumbu secercah aroma khas yang amat ia kenali: aroma citrus bercampur basil.
Meski pagi tadi Redam menyemprotkan wangi parfum yang sama ke kemejanya, namun pemuda itu tahu betul kalau aroma yang kini menggelitik indra penciumannya kali ini bukanlah berasal dari tubuhnya sendiri. Melainkan dari permukaan pakaian seorang perempuan berkulit hitam manis yang berdiri dua langkah dari posisi Redam sekarang. Sebab, di antara wangi citrus berpadu basil yang menguar tadi, Redam juga bisa memilah aroma bedak bayi yang mengiringi—bedak yang selama ini menjadi satu-satunya produk yang ramah dan tak menimbulkan gejala negatif di permukaan kulit sensitif Andaru. Bukan tanpa alasan pula Redam dan Andaru menggunakan parfum dengan merek sama. Di kencan pertama mereka dulu, Redam sempat menghadiahi perempuan yang kini mengalihkan pandangan ke arah deret bangunan pencakar langit yang berdiri pongah di luar jendela itu dengan parfum kegemarannya. Menurut Redam, aroma citrus berbaur basil adalah wangi netral yang mampu disukai laki-laki dan perempuan. Dan dugaan Redam itu benar adanya. Begitu Andaru menyemprotkan parfum pemberian sang kekasih di ujung pergelangan tangan, perempuan itu langsung jatuh hati: pada wangi khas si parfum sendiri maupun pada manisnya perlakuan Redam tersebut.
Pikiran Redam kembali mengawang. Ia tahu kalau jarak terdekat antara halte tempat ia naik dengan halte berikutnya berjarak tak kurang dari sepuluh menit—yang kini ia yakini akan terasa jauh lebih panjang. Sedang kantor tempat Andaru menuju—tempat mereka bekerja dulu—masih akan ditempuh dalam empat halte berikutnya. Untuk waktu yang tak singkat tersebut, Redam tentu bingung bagaimana harus bersikap di depan Andaru. Terus berpura-pura seolah lupa apa yang pernah terjadi di antara mereka, sampai kemudian keduanya sama-sama meyakini bahwa suatu saat keduanya akan benar-benar saling melupakan? Atau justru pemuda itu harus memulai percakapan basa-basi demi membangun jalan cerita untuk bisa mengakhiri kerumitan hubungan yang telah mereka awali dengan sebuah perbedaan prinsip mendasar. Toh, ketika sebelumnya mereka telah bersepakat menggantungkan keputusan pada sang waktu, nyatanya penyelesaian yang mereka nantikan tak lantas menemukan ujung pangkalnya. Memikirkan itu, Redam malah merasakan dadanya semakin sesak.