--Surakarta 1997--
Hari ini Sukma resmi menyesesaikan pendidikan SLTA sederajat dengan tiada tinta merah di ijazahnya. Sukmawati atau biasa dipanggil Sukma itu lulus dengan nilai sempurna. Prestasi ini yang harusnya jadi kebanggaan tersendiri baginya justru memberi beban yang teramat besar.
Sukma pulang dengan langkah berat, mobil Toyota kepunyaan Bapaknya sudah menunggu di depan tapi Sukma masih ingin menunda kepulangannya.
“Pak, antar Sukma pergi ke stasiun Purwosari dulu, ya, seperti biasa. Jangan bilang sama Bapak dan Ibu.”
“Nggih mbak.”
Stasiun kereta tertua di Purwakarta itu terletak tidak jauh dari rumahnya, saat banyak pikiran atau butuh waktu untuk mengambil keputusaan yang sulit, Sukma selalu datang ke Stasiun. Sekadar berdiam diri duduk di salah satu bangku dan melihat kereta berangkat.
“Sukma hari ini lulus dengan nilai sempurna, kalau Mas tahu pasti akan bangga sekali.” Tulisan Sukma terhenti, ia menghela napas berat berharap bisa bertemu lagi dengan sosok yang dipanggilnya dengan sebutan 'Mas' itu.
“Hari ini Sukma datang untuk menuliskan surat permintaan maaf karena tidak bisa memenuhi janji untuk menjadi Ibu Negara, Sukma punya mimpi yang lebih besar daripada itu, dan mungkin saja Mas tidak akan memberi dukungan untuk keputusaan Sukma. Tapi tetap saja Sukma ingin lakukan.”
Setelah selesai menulis semuanya Sukma memutuskan pulang dan meninggalkan suratnya di bangku dengan harapan bahwa surat itu akan sampai ke penerimanya.
Setelah sampai di rumah, kepulangan Sukma disambut sangat baik oleh bapak dan ibunya. Kabar bahwa putri bungsu Widodo dan Ningsih lulus dengan nilai terbaik sudah tersebar di seluruh desa, pasalnya tidak banyak anak dari keluarga berada yang belajar sungguh-sungguh dan lulus dengan nilai seperti Sukma, termasuk kakak laki-lakinya.
“Assalamualaikum, Pak, Buk."
“Waalaikumsallam, Nduk."
Ningsih memeluk Sukma erat, seperti berkata dengan seluruh tubuhnya bahwa ia sangat bangga terhadap Sukma.
“Selamat atas kelulusanmu. Bapak dan ibu bangga sekali. Ayo duduk dulu, diminum tehnya.”
Kalau sudah disajikan teh seperti ini mereka pasti ingin bicara serius, “Jadi kamu ingin melanjutkan di perguruan tinggi mana? Kalau ingin di luar kota kami tidak masalah, yang penting kamu nyaman.”
Keluarga Widodo merupakan keluarga yang disegani banyak orang, bukan hanya karena jabatan Widodo sebagai Lurah Laweyan tapi karena sifatnya yang bijaksana dan rendah hati. Ditambah lagi Ningsih adalah salah satu guru yang sudah mengajar di salah satu sekolah ternama. Tidak heran kalau keduanya ingin memberikan pendidikan terbaik untuk Sukma.
Lagi- lagi raut wajah Sukma sama sekali tidak menunjukkan kebahagiaan. Sukma terdiam, ia masih mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan bapaknya. “Sukma tidak ingin masuk perguruan tinggi, Pak,” jawab Sukma dengan mantap.
“Nduk, Sukma sayang, kamu itu anaknya kepala desa dan guru disini. Kalau tidak melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi mau jadi apa nanti. Nanti dikira orang-orang kamu tidak boleh sekolah lagi dan mau disuruh Rabi.” Ningsih menentang Sukma terang-terangan.
Widodo hanya diam, ia tahu bagaimana watak Sukma, anak gadisnya tidak mungkin gegabah mengambil keputusaan apalagi menyangkut masa depan dirinya dan keluarga. “Kalau tidak mau sekolah lagi, terus kamu mau ngapain? Apa tidak sayang dengan ijazahmu?” tanya Widodo dengan tenang tanpa menyudutkan, memberi kesempatan Sukma untuk bicara dan menyampaikan pendapatnya.
“Sukma ingin belajar menggarap sawah dan jadi Tuan tanah, ingin bercocok tanam di lahan sendiri.”
“Kalau ingin belajar ilmu pertanian 'kan harus sekolah dulu. Nanti kalau sudah lulus dan jadi sarjana pasti akan bapak berikan sawah dan tanah biar kamu jadi juragan.”
“Belajar dua belas tahun sudah cukup, Pak, Buk. Sekolah lagi hanya membuang waktu. Masalah ilmu semua ada di buku, Sukma ingin praktek langsung di lapangan, belajar menyiapkan lahan, pembajak sawah, menanam padi dan memanen langsung.” Sukma menjelaskan keinginanmya secara rinci.
Untungnya bapak Sukma bukan orang yang mudah emosi dan selalu menyesesaikan masalah dengan kepala dingin, “Bayaranmu jadi buruh tani itu tidak akan cukup untuk beli sawah dan tanah, cari duit juga bukan perkara mudah, Cah Ayu. Lagi pula di sini hanya ada lahan tanah gambut, dibuat menanam lombok saja tidak akan bisa hidup.”
“Tabungan dari uang jajan bulanan Sukma masih utuh, itu pasti cukup buat beli bibit unggul nanti kalau sudah punya lahan. Sambil memunggu, Sukma akan berangkat pergi ke sawah bersama Pak Yadi, sekalian belajar. Satu bulan kemudian kalau menurut Bapak, Sukma bisa menggarap sawah, belikan lahan untuk bercocok tanam.”
“Jadi cita-cita dan tujuanmu melakukan semua ini apa? Ingin jadi juragan sayur?”
“Nanti kalau semuanya bisa tumbuh subur, Sukma akan jual hasil panen ke penduduk desa biar bisa meringankan beban mereka membeli bahan pokok. Siapa tahu juga bisa jadi lapangan pekerjaan untuk mereka.”
Widodo geleng-geleng kepala mendengar penjelasan Sukma. Bagaimana gadis tujuh belas tahun bisa punya cita-cita sebesar ini? Kalau sampai punya tabungan berarti ia sudah memikirkannya sejak lama.
“Baik, bapak akan turuti semua keinginan kamu, tapi kalau tahun ini sampai gagal panen, kamu harus masuk perguruan tinggi pilihan bapak.”
“Kalau bapakmu sudah memberi izin, ibuk juga tidak bisa melarang. Tapi kamu juga harus menepati janji, kalau gagal panen kamu harus masuk perguruan tinggi”
Akhirnya Sukma bisa bernapas lega setelah mendapat izin dari kedua orang tuanya, ia meminum teh nya yang sudah dingin. “Sukma janji tidak akan mengecewakan kalian.”
Ningsih memeluk putri bungsunya erat. Di dalam lubuk hatinya is berharap Sukma berhasil meraih apa yang di cita-citakan.
***
Esoknya Sukma benar-benar ikut Pak Yadi pergi ke sawah. Mereka berdua berangkat subuh naik sepeda ontel. Sukma dibonceng Pak Yadi di boncengan belakang.
“Sukma berat, ya, Pak Yadi?”
“Tidak, Mbak. Wong badan kecil begitu kok berat.”
Ini masih pagi buta, udaranya masih dingin. Jaket tebal milik Sukma saja tidak bisa melindungi, tubuhnya masih terasa dingin. Ini pertama kalinya Sukma dibonceng sepeda ontel dan melihat desa secara langsung. Karena tidak punya banyak teman Sukma hampir tidak pernah keluar rumah selain pergi ke sekolah dan perpustakaan.
Sepanjang perjalanan banyak orang yang memperhatikan. Siapa yang tidak heran melihat anak kepala desa dan guru terpandang pergi ke sawah dan dibonceng sepeda oleh bawahan orang tuanya? Sementara itu, Sukma memilih bersikap masa bodoh dan menikmati perjalan menuju ke sawah.
Karena ini adalah hari pertama Sukma bekerja di sawah, Pak Yadi hanya mengajarkan mencangkul untuk menyiapkan lahan. Nanti kalau mataharinya sudah naik Sukma akan membantu menjemur hasil panen dan membersihkan jerami.
Tanpa banyak bicara Sukma melihat bagaimana Pak Yadi bekerja; memperhatikan bagaimana cara mencangkul, yang tentu saja tidak semudah kelihatannya. Apalagi karena perawakan tubuhnya yang kecil dan sepatu karet yang ukurnya lebih besar dari kaki Sukma membuatnya terasa lebih berat.
“Saya saja tidak tega melihat Mbak Sukma kerja di sawah. Bagaimana perasaan Ibuk kalau melihat anak wedok satu-satunya kerja berat begini.”
“Jangan bilang ibuk kalau Sukma ikut macul, Pak. Bilang saja kalau Sukma hanya duduk-duduk melihat.”