Surakarta 1987
Ini pertama kali dalam hidup Sukma pergi ke stasiun; melihat dengan mata kepalanya sendiri benda besi raksasa yang disebut kereta. Air matanya kering seketika setelah melihat kepulan asap dari cerobong kereta.
Sukma yang saat itu masih berusia tujuh tahun merasa takjub mendengar bunyi tut tut dari kereta api hingga melupakan tujuan utamanya datang ke stasiun kereta--Stasiun Purwosari, Jaya akan pergi ke Yogyakarta.
“Kamu lebih suka melihat kereta api daripada melihatku?” Jaya mencoba menarik perhatian Sukma yang teralih.
“Mas Jaya jahat! Kan mau pergi, ya, jelas Sukma lebih suka kereta api.” Sukma kecil memalingkan wajahnya sambil menyilangkan tangan di depan dada.
Jaya menjongkokkan badannya sedikit, berusaha mensejajarkan tinggi badannya dengan Sukma, “Hari ini terakhir bisa ketemu kamu, dengar dulu sebentar.”
Sukma menoleh ke arah Jaya dan menghapus air matanya yang hampir jatuh lagi, “Iya Sukma dengar.”
“Nanti kalo mas Jaya sudah gede, mas janji bakal jadi presiden. Jadi kamu bisa gampang kalau ketemu sama Mas lagi.”
“Memangnya bisa Sukma ketemu Presiden? Kan ajudannya banyak.”
“Bisa.”
“Bagaimana caranya?”
“Belajar yang pinter biar bisa jadi ibuk negara.”
Sukma mengangguk lalu menyerahkan ikat rambut dengan mote stroberi warna merah jambu kesayangannya, “Jaga ini baik-baik, ya! Kembalikan nanti kalau kita bertemu lagi.
Jaya tersenyum mengingat percakapan terakhirnya dengan Sukma sepuluh tahun lalu. Siapa sangka kalau butuh waktu selama ini untuk bertemu lagi dengan cinta pertamanya itu.
“Bagaimana anak lurah yang ayah jodohkan sama kamu?” Pertanyaan Tjokro membuyarkan lamunan Jaya.
“Jaya hampir misuh waktu Ayah bilang mau jodohkan dengan anak lurah. Kalau tadi pagi tidak disuruh mengantar anak lurah yang di maksud Ayah, Jaya pasti sudah minggat.”
Jaya senang bukan kepalang mengingat pertemuannya dengan Sukma tadi pagi, sampai-sampai tidak merasa kecewa karena Sukma tidak mengenalnya tadi. Baginya itu hal wajar, karena mereka tidak bertemu selama sepuluh tahun.
Rahayu tertawa mendengar ucapan anak semata wayangnya itu, “Kalau kamu sesuka itu sama dia, kenapa mesti nunggu dijodohkan untuk ketemu lagi sama dia? Jarak Jogja – Surakarta juga tidak jauh.”
“Halah buk, semuanya memang tidak ada hubungannya dengan jarak. Buktinya kalau Jaya lagi ada di Surakarta saja tidak pernah basa-basi tanya soal Sukma, kok.” Tjokro menimpali perkataan istrinya cepat.
“Jaya ndak punya keberanian buat nemuin dia, takut nanti ndak fokus sekolah karena pengen ketemu terus.”
Memuntut ilmu di tempat asing seorang diri sama sekali bukan perkara mudah bagi Jaya. Sebenarnya berkali-kali Jaya ingin pulang karena tidak betah dan rindu rumah, termasuk ingin bertemu Sukm, tapi Jaya berusaha keras menahan egonya dan berusaha keras menyesesaikan pendidikan di Yogyakarta.
“Nanti malam kamu pergi ke rumah Widodo sendiri saja, biar bisa temu kangen sama Sukma sepuasnya. Ayah sama Ibuk ada acara.
“Memang tidak salah Jaya mengandalkan Ayah dan Ibuk. Sampai calon istri saja sesuai dengan keinginan.”
“Ya, kalau tidak sesuai kamu nanti bakal main telenovela judulnya kawin lari.”
“Ayah bisa saja.” Jaya menggaruk kepalanya yang tidak gatal
***
Sebenarnya ini bukan pertemuan keluarga resmi atau semacamnya, tapi tetap saja bertemu Sukma setelah sekian lama membuat Jaya gugup, apalagi setelah pertemuannya dengan Sukma tadi pagi.
Keluarga Sukma menyambut kedatangan Jaya dengan hangat. Senang rasanya bisa bertemu lagi dengan orang-orang yang ia rindukan, terutama Sukma.
“Kamu sudah besar rupanya, gagah sekali seperti ayahmu waktu muda.” Widodo tak segan memeluk Jaya.
“Tjokro dan Rahayu pasti bangga sekali punya putra sepertimu.” Ningsih ikut memuji Jaya.
Mata mereka bertemu dan senyum Sukma melebar dengan sendirinya. “Bagaimana kabarmu, Dek?”
“Baik, Mas.” Sukma menjawab singkat.
Widodo berdehem keras, “Kalian berdua bisa ngobrol di teras luar, biar nanti dibuatkan teh. Bapak sama ibuk pergi dulu, ada kondangan di kampung sebelah. Sukma jaga rumah, ya!”
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsallam.”
Jaya menyeruput teh nya sebelum memulai pembicaraan. “Ternyata Mas itu tidak penting untuk kamu. Buktinya saja tidak ingat sama sekali.”
“Maaf, iya Sukma salah. Selain ndak kenal sama Mas Jaya, Sukma juga berlebihan.” Sukma langsung menunduk, tidak bisa memberikan pembelaan apapun.
“Ah, Mas juga minta maaf kalau kehadiran Mas membuat kamu tidak nyaman, baik tadi pagi maupun sekarang.” Jaya memberikan bunga Dahlia putih yang sedari tadi dipegangnya.
“Makasih, bunganya cantik.”
“Mas mendengar sedikit kabarmu dari Ayah kemarin. Termasuk keinginan Ayah untuk menjodohkan kita. Ada hal yang mas setujui dan tidak.” Nada bicara Jaya berubah serius.
“Mas sangat setuju dengan perjodohan kita, tapi mas tidak setuju jika kamu bekerja di sawah.”
“Tapi Sukma tidak bisa menepati janji untuk tumbuh sebagai gadis hebat ataupun menenuhi kriteria sebagai ibu negara.”
“Dengar, jangan salah paham dengan ucapan Mas. Mas minta kamu berhenti bekerja di sawah sama sekali bukan karena malu, tapi karena Mas khawatir. Usiamu masih tujuh belas tahun, Dek. Masih boleh bermain dan bersenang-senang. Tidak perlu terburu-buru.”
Sukma tersentuh mendengar ucapan Jaya. ‘usiamu masih 17 tahun, masih boleh bersenang-senang’ sama sekali tidak ada kata yang merendahkan keputusannya sama sekali, tidak ada desakan untuk memilih jalan yang seharusnya dipilihnya.
“Sukma memang sudah dilarang Bapak buat pergi ke sawah besok dan sekarang Mas Jaya juga larang Sukma jadi Sukma mau nurut dengan satu syarat. Jangan panggil Sukma dengan sebutan Dek, panggil nama aja.”
Jaya menahan tawanya. “Mas pikir kamu suka mas panggil begitu.”
“Ya memang suka, suka sekali malah. Tapi Sukma tidak mau terlihat seperti adik Mas Jaya.”
“Ya sudah kalau begitu, panggil Sukma saja biar lebih akrab.”
“Mas Jaya bagaimana kabarnya selama tinggal di Yogyakarta? Sebenarnya Sukma masih tidak menyangka bisa bertemu Mas Jaya lagi di sini.”