Kini isi kepala Sukma dipenuhi akan fakta bahwa Jaya merupakan mahasiswa yang tergabung dalam aktivis demo. Sukma tidak dapat membantah bahwa ia membenci fakta tersebut.
“Saat sudah menikah nanti, Mas akan mengajak kamu kemari. Kamu bisa memilih satu baju sebagai hadiah pernikahan,” ucap Jaya sembari tersenyum saat melewati Departemen Store Matahari yang baru saja mereka lewati.
Tidak ada respon dari Sukma. Bukan karena apa, hanya saja sedari tadi Sukma memang tidak mendengar apa yang Jaya ucapkan.
“Sukma?" Karena panggilannya kembali tidak mendapat jawaban, Jaya menepikan sepeda onthelnya itu.
“Lho kenapa berhenti, Mas? Bocor ya ban sepedanya?” Pertanyaan ngawur muncul dari mulut Sukma.
“Kan ngelantur kamu. Wong dari tadi Mas ajak bicara aja kamunya ndak nyaut kok. Lagi mikirin apa kamu. Perasaan tadi pas berangkat juga ndak kenapa-kenapa to?”
“Mas Jaya harus ya ikut-ikut demo? Tadi kok temen Mas bilang biasanya Mas Jaya ngisi di garda depan?” Sukma yang tidak bisa menampung rasa penasarannya tanpa basa basi menanyakan secara langsung pada Jaya.
“Sekarang Mas tanya, kenapa Sukma ndak suka sama orang yang ikut demo?” Jaya agak menunduk, mencoba melihat wajah Sukma.
“Ya karena menurut Sukma, demo itu berkaitan dengan kekerasan.” Sukma menjawab dengan nada pelan. Ia bahkan tidak berani menatap wajah Jaya.
Jaya mengajak Sukma duduk di bangku taman, “Mas Jaya tidak akan menyalahkan pemikiran kamu Sukma. Tapi biarkan Mas melakukan pembelaan. Mau dengar tidak?”
Sukma mengangguk pelan.
“Demo itu ndak selalu pakai kekerasan. Sama seperti Sukma yang punya prinsip, visi, misi hidup yang tegas. Mas juga punya prinsip seperti itu. Bagi Mas demo itu menyampaikan suara. Banyak masyarakat suara yang tidak terdengar. Dan Mas adalah salah satu dari banyak mahasiswa yang ingin membantu menyampaikan suara tersebut.”
Mendengar penjelasan Jaya, pemikiran Sukma sedikit berubah. Ia juga teringat dengan ucapan kakaknya. Bahwa sama seperti Sukma yang memiliki prinsip, Jaya juga mempunyai prinsip dalam hidupnya. Jaya juga bersedia menghargai prinsip hidup milik Sukma. Jadi, hal yang harus Sukma lakukan adalah menghargai prinsip hidup Jaya.
“Tapi, bisakah Mas berjanji satu hal dengan Sukma?” Kali ini Sukma menatap Jaya dengan berani dan berkata, “Jangan berdiri di garda depan lagi.”
Jaya terkekeh saat mendengar permintaan dari Sukma. Jaya mengacak poni depan milik Sukma. “Kamu itu makin hari makin gemesin, ya. Iya. Mas janji.”
Pipi Sukma merona. Wajahnya terasa panas, “Aku ndak bercanda lho. Serius Mas.”
“Siapa bilang Mas bercanda. Ayo naik. Sudah sore. Bisa-bisa Mas di hajar sama Mas Mahen.”
Sukma kembali naik di belakang Jaya. Tubuhnya yang terbilang mungil dibandingkan Jaya, membuat mereka amat serasi. Sukma tidak bisa berhenti tersenyum. Kepalanya tak lagi berat dengan berbagai macam spekulasi.
“Jadi, sampai mana acara tanam menanam mu itu? Lancar?”
“Alhamdulillah. Sementara ini bisa dibilang lancar. Semua bibit yang saya berhasil tumbuh. Tapi masih harus diawasi secara teratur. Kalau ndak ya bisa-bisa mati sebelum masa panen. Sukma ndak mau sampai mengecewakan Bapak.”
“Mas yakin kamu berhasil Sukma.” Singkat namun cukup memberi kekuatan bagi Sukma.
“Bagaimana Mas tahu kalau Sukma bisa berhasil?” Sukma menatap Jaya dengan heran.
“Ada tulisannya di kening kamu.”
Polisi tidur yang baru saja mereka lewati membuat sepeda onthel yang mereka tumpangi berguncang. Sukma yang tidak berani berpegang erat hanya berpegang pada ujung baju milik Jaya. Sekali lagi mereka melewati polisi tidur. Dengan sigap Jaya menarik tangan kiri Sukma untuk memegang erat pinggangnya.
Sukma menahan napas. Sentuhan Jaya aliran listrik memenuhi seluruh urat nadi miliknya. Getaran aneh yang belum pernah Sukma rasakan.
***
Akhirnya, paragraf terakhir dalam buku setebal lima senti itu berhasil ditulis. Sang penulis meletakkan pena yang sedari tadi tak ingin ia lepas—sebelum tulisannya benar-benar usai. Beberapa tepukan di atas buku ini pun ia lakukan. Lega. Hingga tanpa sadar langit barat sudah menampakkan semburat senja.
“Jaya!”
Jaya—si penulis itu menoleh, “Kenapa?”
“Nanti malem jangan lupa dateng, Ja! Moso iya pimpinan kita absen lagi,” ucap Rosyid, laki-laki berperawakan tinggi dan sedikit buntal; rambutnya gondrong namun diikat oleh karet. Dirinya menghampiri Jaya lalu ikut mendudukkan diri.
Jaya bergeming, tak ingin membuang energi demi ocehan tanpa arti dari teman satu jurusan itu. Sepasang tangan Jaya justru sibuk menyibak helaian rambut yang menutupi pandangannya. Rupanya tak hanya semburat jingga yang sebelumnya ia temukan, namun juga adegan sepedanya jatuh tak sengaja disenggol.
“Waduh, sepedamu, Ja!” seru Rosyid heboh.
Dari gazebo yang jarak lima belas meter dari parkiran, mata Jaya tak lepas dari keterkejutan yang didapatinya. Sangat terlihat jika teriakan Rosyid barusan juga membuat pelaku kalang-kabut.
“MAAF, MAS!!!” Seseorang itu—yang telah mejantuhkan sepeda Jaya tak kalah panik karena sadar dengan kesalahannya. Segera laki-laki itu mendirikan sepeda Jaya, bahkan ia membawanya ke hadapan Jaya dan Rosyid.
“Maaf, Mas, saya ndak sengaja. Maaf, ya, Mas. Saya ganti rugi juga ndak apa-apa,” ucapnya.
“Nggak apa-apa, Mas. Udah biasa jatuh ini sepeda saya, nggak perlu diganti. Masnya juga nggak sengaja,” ucap Jaya segera bangkit, menghampiri.
“Kamu Yanto, bukan?” celetuk Rosyid.
“Lho, iya, Mas Rosyid.” Laki-laki bernama Yanto itu pun segera meraih tangan Rosyid; bermaksud menyalaminya.
“Ja, ini Yanto yang baru orientasi masuk kemarin.”
Baik Jaya dan Yanto saling berkenalan. Yanto yang merupakan mahasiswa semester baru; dan baru saja mendaftar di organisasi. Sedangkan Jaya tampak tenang pun sesekali membaca perawakan Yanto; dia pemberani dan tak malu mengakui kesalahan—pikir Jaya.
Mereka pun berpisah. Jaya dan Rosyid kembali menuju bangku kayu yang tadi mereka tempati. Tiba-tiba saja Jaya termenung, bibirnya mengulas senyum setelah mengingat pertemuannya dengan Sukma setelah sekian lama. Rasanya tidak nyata. Jaya begitu bahagia.
“Nanti lama-lama kamu bisa kesambet lho, Ja. Daritadi kamu itu lho senyam senyum sendiri. Kaya wong edan.” Rosyid menyadarkan lamunan Jaya.
“Eh iya, Ja. Kamu serius mau nulis kaya gini buat skripsi?"! Kali ini Rosyid terlihat khawatir.
Era Paradigma Dikotomi Politik-Ekonomi oleh Frank Goodnow. Itulah yang akan di bahas Jaya dalam skripsi miliknya. “Ketetapan dan perubahan dari sistem pada pola organisasi yang efisien dan efektif setelah memisah—. Ja! Berani banget kamu ambil sumber ini?” Lagi dan lagi. Rosyid memang berbakat untuk mengejutkan orang.
“Berani. Sudah disetujui professor, Syid. Kenapa memangnya?”
Rosyid mendekatkan diri ke Jaya, “Ja, kamu mau ikutan ngilang juga?” ucap Rosyid pelan namun penuh penekanan, jangan lupakan mata tajamnya yang menghunus bak pisau.
“Santai, Syid. Meskipun topiknya memang efektifitas Politik-Ekonomi, tapi ndak bakal nyinggung ke kebijakan. Fokus ke polanya saja, pasti aman. Jangan lupa professor sudah ‘acc’, ya ndak mungkin to aku ganti topik!”
Bagi Jaya, sebagai mahasiswa jurusan Sosial-Politik, dirinya memanglah harus berkecimpung dalam urusan politik. Ia ingin memberi sedikit kontribusi untuk negaranya—bahkan dari tulisan yang disebut ‘skripsi’ miliknya. Sedangkan Rosyid masih saja membaca kalimat demi kalimat skripsi yang ditulis Jaya. Ia masih was-was; apalagi sebagai teman Jaya yang mengenalnya berjiwa nasionalis tinggi.
Masalahnya, kondisi politik saat ini benar-benar menakutkan. Baik Jaya maupun Rosyid tahu; terlalu sensitif untuk melibatkan teori yang berkaitan dengan politik. Kejadian dua minggu lalu juga turut membuat atensi besar di keduanya. Salah satu mahasiswa kampus mereka tidak ada kabar semenjak dirinya membuat petisi untuk… presiden….