Sukma: Jiwa-jiwa yang Terluka

RED
Chapter #5

Surakarta 1998

Jaya benar-benar tidak mengenal kata jera, bahkan setelah dibekuk aparat, masuk bui dan tertangkap basah oleh ayahnya sendiri ia masih ikut andil dalam persiapan demo dengan dalih menyiapkan skripsi.

Sudah menjadi tugas bagi setiap mahasiswa utamanya yang menempuh semester akhir untuk menyelesaikan tugas akhir mereka yang disebut ‘skripsi’. Begitupun untuk Jaya, di pundaknya sudah melekat kewajiban untuk menyelesaikan berbagai tanggung jawab sebagai mahasiswa, bahkan di antara kehidupan jurusan maupun organisasi yang dilakoninya.

Satu jam telah berlalu, Jaya masih terjebak di sebuah bangku panjang pada lorong bangunan gedung jurusannya—Ilmu Sosial dan Politik. Lebih dari puluhan mahasiswa yang berlalu lalang melewatinya. Jaya terus menunggu, meskipun dirinya semakin gusar dan tak sabar.

Sebenarnya, hari ini adalah waktunya beserta rekan Senat Mahasiswa juga aliansi SeMa lainnya di masing-masing daerah untuk menyampaikan petisi mereka. Jaya gusar dan tidak tenang sedari tadi, bahkan tetesan keringat dingin sudah membanjiri tubuhnya.

Tapi, sekali lagi, Jaya tidak bisa meninggalkan garapan skripsinya barang sebentar.

Jaya yang sudah siap dari semalam suntuk mempersiapkan segala kebutuhan saat orasi, harus rela melepas keikutsertaannya dalam demonstrasi. Dirinya harus mendapatkan kabar bahwa professor—dosen pembimbing skripsinya—akan segera pelatihan di luar negeri, karena itu Jaya harus menemui dosennya kali ini. Jaya harus bertemu, atau skripsinya akan terbengkalai dan mangkrak.

“Mas Jaya!”

Seorang perempuan berperawakan kecil dengan kuncir kuda menghampiri Jaya.

“Kenapa, Sri?”

Dia Sri, anggota baru di SeMa yang juga kebetulan satu jurusan yang sama dengan Jaya.

“Mas, ayo lihat televisi sebentar!”

Sri mengajak Jaya menuju salah satu ruang yang digunakan untuk ruang perpustakaan. Pada awalnya Jaya ingin menolak, karena dirinya sudah berkorban begitu lamanya menunggu kedatangan professor, nmun melihat raut Sri yang begitu kentara serius, Jaya pun mengiyakan. 

“Ada apa, Sri?” tanya Jaya sekali lagi.

“RI TV ngeliput demo, Mas. Bentar lagi mulai,” ucap Sri saat televisi menayangkan iklan.

Perasaan gusar Jaya sedari tadi mendadak jadi penasaran. Jiwanya begitu menggebu ingin mengetahui hal yang terjadi di lapangan, pun tentang rasa penyesalannya tidak dapat ikut. 

Jaya dan Sri memutuskan duduk lesehan di lantai perpustakaan. Sesekali Jaya menoleh ke arah pintu barangkali melihat professor sudah datang. Untung saja ruang dosen dan perpustakaan bersebelahan.

“Sri, tadi gimana persiapan demonya? Aman?” tanya Jaya.

“Aman, Mas,” jawab Sri. Ngomong-ngomong Sri memang seperti Jaya, ia tidak ikut orasi, tapi dengan alasan klise; tidak ada izin orang tua. 

“Sebenarnya sempat ada sedikit beda kepala di aliansi sebelah, Mas. Bukan seperti gagasan awal yang memang kita rapatkan bersama (masalah desakan krisis moneter), tapi mereka ingin langsung menuntut untuk melengserkan presiden,” lanjut Sri.

Jaya terlonjak kaget. Perihal beda kepala dan tujuan demo setiap individu itu sudah biasa terjadi. Namun, agaknya di situasi rumit dan banyak sekali benang merah yang belum terpecahkan, demo ini akan berat dan cukup berisiko.

“Aliansi mana saja yang beda kepala, Sri.”

“Kabarnya, dari pusat—Jakarta—, Mas. Ada juga daerah-daerah di kota lain yang setuju. Maaf, Mas, aku lupa. Aku hanya mendengar sekelumit pembicaraan Mas Ahmad sama ketua lainnya.”

Jaya mengepalkan tangannya. Sedari tadi ia hanya berdoa semoga apa yang diusulkannya bisa berjalan baik. Ia hanya ingin memperjuangkan rasa keadilan dan hal baik untuk negara tercinta. Tidak banyak yang bisa Jaya lakukan selain menyampaikan orasi melalui demo.

Saat itu, tampilan layar televisi sudah berubah. Gambaran aksi dari kota Semarang ditampilkan, lalu disusul oleh aksi demontrasi dari aliansi mahasiswa di Jakarta. Pada menit-menit awal, demonstrasi berjalan baik; mahasiswa serentak menyatakan orasi dan tuntutannya, beberapa di antaranya melakukan arak-arakan di sepanjang jalan. Sampai di tanyangan akhir, mulai muncul perdebatan mahasiswa dengan oknum aparat; terjadi pukulan dan desakan, juga pembubaran secara paksa.

Selesai. Tanyangan televisi tidak bertahan lama; videonya terlalu amatir sehingga banyak anggota pers mundur dan memutuskan untuk beralih pada pembacaan spekulasi-spekulasi di studio.

Susah payah Jaya menelan salivanya. Sebuah kalimat berhasil mengusik kepalanya; apakah rekan mahasiswanya baik-baik saja?


***

Beberapa hari sudah berlalu, namun efek dari orasi tempo hari masih terasa. Bahkan di lima hari setelahnya, masih banyak berita-berita dari dampak yang ditimbulkan; termasuk adanya berita tentang mahasiswa yang menjadi korban.

Lihat selengkapnya