Obat terbaik adalah waktu. Kalimat itu sama sekali tidak berlalu bagi Sukma, meski sudah 25 tahun berlalu lukanya belum berkurang sedikitpun, tidak menghilang tapi hanya di sembunyikan.
Ia menatap satu-satunya foto keluarga yang masih tersisa itu untuk yang lama. Ada Widodo, Ningsih, Mahendra dan juga Sukma. Memang tidak ada Jaya disana karena sejatinya laki-laki itu tidak pernah menjadi bagian dari keluarga Sukma.
Saat ini Sukma hidup terpisah dengan semua keluarganya, ia memilih pergi dari Surakarta dan memulai hidup baru. Tidak ada Laweyan, tidak ada lagi lahan pertanian dan tidak ada lagi JAYA.
Sukma punya rumah kaca untuk menanam bunganya sendiri, sebagai orang yang pernah menguasai ilmu pertanian dari hasil belajar otodidak tentu saja bukan yang sulit bagi Sukma mempelajari hal semacam ini.
Sesekali Sukma menghadiri kelas merajud untuk menjalin hubungan dan menjalin hubungan dengan orang lain.
“Bu Sukma tidak ingin mencari pendamping hidup? Biar punya teman untuk menghabiskan hari tua.”
Sukma tersenyum, entah butuh berapa lama Aminah yang dibutuhkannya untuk berani menanyakan hal itu padanya.
“Saya sudah terlanjur nyaman hidup sendiri, jadi tidak kepikiran sama sekali untuk mencari pendamping hidup.” Sukma menyesal kopi hitamnya, berharap pahitnya bisa sedikit yang mengurangi rasa sakitnya yang kembali menyeruak.
“Kenalan suami saya ada yang bertanya mengenai bu Sukma, beliau meminta saya untuk memberikan kartu namanya pada ibu dan saya tidak bisa menolak.” Aminah memberikan kartu nama itu pada Sukma.
“Bilang saja kalau saya sudah menerima kartu namanya.”
Aminah tersenyum lega. “Saya tahu bu Sukma mungkin tidak akan berubah pikiran, tapi tetap saja saya ingin memberitahu bahwa beliau orang baik.”
Percakapan mereka selesai, Aminah pamit pulang setelah memberikan kartu nama itu pada Sukma, Sukma hanya melihat kartu nama itu sekilas dan menyimpannya bersama kartu nama yang lainnya.
Sukma pulang, ingin segera mengakhiri hatinya yang melelahkan. Sebenarnya tidak ada yang istimewa hari ini seperti hari-hari biasanya tapi berita tentang ‘mengenang 25 tahun reformasi’ yang dilihatnya sepanjang hari sangat mengusik batin Sukma. Memaksanya kembali mengingat masa lalu menyakitkan yang tidak ingin diingatnya lagi.
Surakarta, 1998
Terjadi pembakaran massal di mana-mana. Kemarahan telah berceceran. Isak tangis menggema di setiap sudut bangunan. Kebencian yang masih jelas mengepul. Enggan mereda.
Mendengar berita tersebut, Sukma seketika berlari ke area pembakaran. Tidak ada yang bisa menghentikan keinginan Sukma. Akhirnya Pak Yadi menyusul Sukma yang bertelanjang kaki menggunakan motor minthi.
20.35
Suasana demo sudah mulai reda. Sukma turun dari motor. "Mas Jaya! Mas! Jaya!" entah sudah berapa kali ia meneriakkan nama Jaya. Seperti orang yang kehilangan akal, Sukma mulai menangis histeris.
Pak Yadi mencoba membujuk Sukma untuk pulang."Ayo, Non. Kita pulang. Kasihan ibuk bapak nunggu kamu. Mereka pasti khawatir."
Mendengar kalimat Pak Yadi, Sukma mencoba bangkit dari jalanan aspal yang membuat kebaya putih miliknya menjadi kotor. Sesampainya dirumah, ia kembali menangis saat tahu Jaya belum juga kembali. Napasnya tersengal. Tak mampu berdiri. Akhirnya Sukma kehilangan kesadarannya.
"Astaghfirullah, Nduk." Ningsih memeluk Sukma. Mencium kening putrinya.
Mahendra dengan sigap membopong Sukma ke dalam kamar. Sekujur tubuh Sukma terasa panas. Wajahnya pucat pasi. Sang kakak dengan sigap segera mengayuh sepeda onthel untuk pergi ke rumah mantri yang berjarak 500m dari rumahnya.
Semua orang yang ada di sana cemas, termasuk Tjokro dan Rahayu yang menunggu di luar sambil berharap keadaan Sukma baik-baik saja.
Selesai memeriksa keadaan Sukma, wajah mantri tersebut berubah menjadi tegang. Beliau menutup pintu kamar Sukma. Hanya ada Ningsih dan Mahen di kamar itu. Mahen yang telah mengerti tatapan tersebut hanya bisa mengusap wajah kasar.
"Kenapa to Buk Sri?" Tanya Ningsih yang masih tidak mengerti.
"Gendhuk niki nembe ngandhut Buk Ning." Buk Sri menjawab pertanyaan dari Ningsih dengan sehalus mungkin.
Ningsih terpukul, ibu mana yang tak hancur hatinya mengetahui musibah seberat ini, sama halnya dengan Widodo, ia terduduk di lantai sambil menangis tidak percaya bahwa putri kesayangan yang dijaga dengan sebaik-baiknya sudah dinodai oleh laki-laki tidak bertanggung jawab seperti Jaya.
Berbeda dengan kedua orang tuanya Mahendra kalut dalam amarah, buku-buku jarinya memutih, rasanya ingin segera membunuh Jaya dengan kedua tangannya sendiri. Rasa bersalah yang amat besar menyelimuti Mahendra saat ini, harusnya ia mendukung Sukma untuk mundur ketika adiknya goyah.
Kesadaran Sukma telah kembali. Belum sampai ia menyesap teh hangat pemberian ibunya, Sukma berlari ke arah kamar mandi. Perutnya mual. Dengan sisa tenaga yang ia miliki ia berjalan keluar. Sukma menatap ibunya dengan tatapan nanar.
Sukma bersimpuh dibawah kaki sang ibu. "Nyuwun ngapunten Buk. Gendhuk salah." Sukma kembali menangis sejadinya.
Tidak ada jawaban. Rasa kecewa ikut menyatu dengan kesedihan. Tidak ada yang dapat ia salahkan disini. Ningsih hanya bisa memeluk anak gadisnya itu.
Diciumnya kaki Widodo yang masih tak bergeming. Sukma tahu jelas bapaknya kecewa karena Sukma gagal menjaga tubuhnya yang berharga.
“Pukul Sukma, Pak! Pukul! Lebih baik bapak pukul Sukma daripada bapak diam seperti ini.” Tangis Sukma mengeras, ia masih bersimpuh di kaki Widodo.
Kacamata Widodo basah, Ia merengkuh Sukma dalam pelukkannya dalam-dalam. “Bagaimana bapak bisa memukulmu, nduk? Yang paling sakit dan hancur disini adalah kamu. Tugas bapak sebagai sebagai orang tua adalah melindungi kamu.
Sukma mengeratkan pelukkannya, berusaha mencari rasa aman dari bapaknya yang saat ini sama hancurnya dengan dirinya.