“Ayah,” ucapnya lirih sambil memukul lantai dan mendongakkan kepala.
Sukma ingin sekali memeluknya dan melakukan kebiasaan saat Nurdi pulang. Namun, kali ini ia tidak bisa melakukannya.
Penampilan kotor tak seharusnya diketahui olehnya agar perasaan bersalah dan menyesal tidak hadir dan berbayang di benaknya.
Sukma sangat rindu dengannya dan banyak cerita yang ingin disampaikan kepadanya.
“Nak, maaf, ya kalau janji pulangnya sedikit lama karena pekerjaan Ayah di luar negeri sangat banyak. Kamu marah sama Ayah sampai tidak ingin menyambut dan memeluk?”
Nurdi bertanya kepadanya dengan nada penyesalan tanpa menyalahkan apa pun. Cara bicaranya menjadi salah satu hal yang dirindukan ketika sedang berlayar.
Isak tangis semakin deras sampai membungkam mulut menggunakan kedua tangannya. Sukma menggeleng pelan ketika Nurdi menyesal karena pekerjaan yang sangat banyak.
Sukma tidak mempermasalahkannya karena Nurdi pasti memiliki alasan untuk pulang terlambat.
“Maafkan Ayah, ya. Jangan lupa bersih-bersih sebelum tidur dan … cokelat kesukaanmu ditaruh di meja yang ada di samping kamar.”
Isak tangis berhenti setelah Nurdi meminta maaf kepadanya dan mengantarkan cokelat di depan kamar. Sukma menoleh ke arah pintu dengan butiran bening yang masih mengalir.
Ia ingin membuka pintu, tetapi ragu karena berpikir bahwa Nurdi masih di depan kamarnya.
Sukma membersihkan badan dengan air mata yang tak kunjung berhenti. Ia membuang kaos kaki yang terdapat bercak darahnya dengan dimasukkan ke dalam kantong plastik berwarna hitam.
Tangan yang merah bekas kukunya yang mencakar diolesi obat merah secara perlahan. Luka batin membekas dalam darah dan ingatannya seumur hidup.
Sukma membisu dan mematung di ranjang sembari menatap foto keluarga dalam bingkai berwarna biru. Mereka terlihat bahagia.
Sukma memiliki Ayah yang sayang dan peduli padanya.
Keinginan untuk tidak menceritakan kejadian yang memalukan kepada Ayah berubah. Ia harus menceritakan kejadian yang menimpanya agar pria bertompel yang brengsek tidak berkeliaran bebas di luar.
Dia harus mendapat hukuman yang pantas dan berat karena telah merenggut kehormatan anak dari tentara angkatan laut.
Bahkan, orang tua Adi tidak menganggapnya anak karena perbuatannya yang sangat buruk. Dia sangat dibenci oleh banyak orang di komplek perumahannya.
Sukma membuka pintu kamar lalu mematung dengan melotot saat sosok tubuh tegap berdiri di depan pintu kamarnya.
Ia tidak menyangka bahwa Nurdi menunggu anak kesayangannya keluar dari kamar dengan memperhatikan cokelat di meja.
“Ayah,” panggilnya bergetar dengan bola mata dipenuhi oleh butiran bening.