Mulut tak kuat digerakkan untuk mengucapkan sebuah nama yang dikenal oleh ayahnya dengan air mata yang mengalir deras.
Sukma melihat wajah ayahnya yang merah padam disertai dengan tatapan yang tajam membuat hatinya tercabik-cabik. Kekhawatiran akan kemarahannya yang membabi buta sangat besar karena seorang Tentara diajarkan melawan tanpa memandang pandang bulu.
“Siapa dia, Sukma?!”
Sontak, kedua matanya terpejam saat tersentak ayahnya. Jantung berdegup dengan kencang sampai urat leher menegang dan terisak.
“Di-dia adalah Ad-adi,” jawabnya terbata-bata lalu menelan air saliva.
Kedua mata Nurdi semakin melotot saat mendengar nama pria yang terkenal brengsek dan tak tahu diri komplek perumahannya. Dia menggunakan kekuasaan orang tua yang bekerja sebagai tentara untuk menggaet para wanita.
Nurdi bangkit dari ranjang dan keluar kamar dari anaknya. Dia melangkah dengan cepat menuju ruang perlengkapan kerjanya dan mengambil senjata kaliber 22.
“Ayah, jangan!” Sukma memohon sambil memegang pergelangan tangannya erat.
“Lepaskan! Jangan menghentikan Ayah, Sukma!” geram Nurdi sembari melepaskan genggaman tangannya dan dikibaskan dengan kasar. Sukma mengenai meja kerja dan terjatuh di lantai bersama dokumennya.
“Ayah!” pekik Sukma dengan isak tangisnya sampai urat kening dan leher menonjol.
Nurdi tak mendengarkan teriakan anaknya karena hati yang tersakiti dan moto kehidupan untuk melindungi keluarga membara.
Keributan di antara mereka terdengar oleh Cassandra, kakak dan adiknya. Sukma bergegas untuk mencegah amarah ayahnya yang tak bisa dibendung.
“Ada apa, Ayah?”
“Aku mau membunuh seseorang malam ini!”
“Astaga, jangan merusak nama keluarga, Yah!” bentak Cassandra sambil memegang pergelangan tangannya.
“Minggir!” seru Nurdi dengan tatapan lurus ke depan.
“Tidak!”
“Ayah!” teriak Sukma sembari berlari ke arah Nurdi.
Nurdi menyingkirkan Cassandra dengan keras sampai terduduk di sofa. Langkah cepatnya tak sampai mencegah langkah Nurdi yang dibersamai oleh amarahnya.
Nurdi tak akan tinggal diam ketika mengetahui anaknya yang tersakiti dan dirusak oleh pria yang tak punya adab dan biadab.
Amarahnya tak bisa ditahan karena puluhan tahun berusaha membentuk karakter anaknya malah dikacaukan olehnya.
“Adi, Sutejo keluar kalian!” teriak Nurdi sambil mengetuk pintu rumahnya dengan kencang sampai membangunkan beberapa warga.