“Ayah yakin kamu bisa hidup dengan bahagia dan bisa memaafkan semua kesalahan orang yang menyakitimu.” Nurdi menjawab penuh keyakinan lalu melepas pelukannya setelah memeluknya dengan sangat erat.
Sukma menatap ayahnya dengan penuh arti tanpa senyuman. Ia berharap bisa hidup sesuai dengan yang dikatakan olehnya.
Sukma lebih nyaman bicara dengan ayahnya dari pada ibunya. Cassandra sibuk dengan urusan dan kesenangannya tanpa memikirkan perasaan ketiga anaknya. Bahkan, dia tidak memutuskan sesuai dengan keinginannya.
Hari pun telah memasuki tengah malam. Nurdi berpamitan untuk tidur.
Sukma merapikan kamar tidurnya selama lima belas menit. Setelah itu, ia merebahkan badan dan memejamkan matanya.
Beberapa jam berlalu, hari berganti.
Pengingat waktu di handphone berbunyi dengan keras. Sukma mematikan pengingat waktu dengan meraba dan mata masih terpejam.
Lima menit berlalu, Sukma terbangun dari tidur sembari meregangkan badan. Ia membersihkan badan selama lima belas menit lalu sarapan bersama keluarganya.
Sukma melihat ayahnya menyiapkan sarapan untuk ketiga anaknya bersama asisten rumah tangga yang biasa dipanggil olehnya dengan sebutan Mbok.
“Di mana ibu?” tanya Sukma menyadari ketidakhadiran Cassandra.
“Ibu sudah pergi duluan. Katanya ada acara Kader. Ibu bermain kolintang.”
“Acaranya jam berapa emang?” tanya Sukma ketus.
“Jam tujuh katanya.”
“Acara apaan pagi sekali,” celetuk Sukma kesal sembari mengunyah roti yang disiapkan oleh Nurdi.
Nurdi ahli dalam membuat roti isi yang dipanggang untuk ketiga anaknya. Bahkan, dia tidak protes pada Cassandra untuk kegiatannya yang dilakukan di pagi hari.
Namun, siapa sangka alasan itu hanya untuk menghindari Sukma yang sudah dirusak oleh pria beringas yang tak tahu malu dan diri. Acara sesungguhnya dimulai pukul sepuluh pagi.
“Sukma,” tegur Nurdi pelan.
“Apakah ibu hanya peduli dengan kegiatannya saja? Apakah ibu hanya peduli dengan kesukaannya? Apakah ibu seegois itu?” cecar Sukma dengan intonasi penekanan.
Sikap protes Sukma diperhatikan oleh kakak dan kedua adiknya. Adik perempuan yang duduk di sebelah bernama Fauzia Halda Satya.
Fauzia kesulitan berbicara setelah operasi penyakit tenggorokan di usia lima tahun. Operasi itu berjalan dengan sukses, tetapi membuatnya kehilangan pita suara dan telinga sebelah kanan tidak bisa mendengar.
“Ibu peduli dengan kalian. Makan dulu nanti terlambat masuk sekolah.”
Sukma berdecak saat mendengar jawaban dari ayahnya. Ia tidak percaya dengan jawaban itu karena sering melihat Cassandra pergi keluar rumah bersama teman-temannya tanpa menanyakan masakan untuk anaknya telah siap atau belum atau mempersiapkan makanan untuk ketiga anaknya.