Sukma melewati ayahnya yang berdiri di dekat pintu kamar mandi dengan melipat kedua tangan di dada. Suasana haru dan sedih saat ia protes kepadanya berubah menjadi sedikit menegangkan.
Ia ingin sekali tidak membahas yang dialami olehnya dengan orang tua, tetapi mual diketahui oleh ayahnya beberapa kali.
“Sukma hanya masuk angin karena kelelahan.”
“Kita pergi ke Dokter sekarang!” Nurdi membawa Sukma ke dokter.
“Tidak, aku baik-baik saja dan lebih baik uangnya ditabung daripada dipakai buat aku yang belum tentu jelas hasilnya dan ujungnya nanti kelelahan.” Sukma menolak dengan baik.
“Kamu bukan Dokter dan jika kita sakit maka periksa tanpa ada alasan.”
Nurdi membalas kalimatnya dengan logika yang bisa diterima oleh akalnya hingga membuat Sukma membisu.
Namun, Sukma ingin membalas perkataannya dengan memutar otak. Ia belum membalas perkataannya, tangan digandeng oleh ayahnya.
“Kamu tidak bisa mengelak lagi dan lebih baik ke Dokter sekarang karena mumpung punya uang. Izinkan Ayah untuk mengantarmu ke rumah sakit sekali saja seumur hidup Ayah.”
Sukma diam beribu bahasa saat mendengar perkataan ayahnya yang ternyata ingin mengantarkan anaknya memeriksakan kesehatan.
Dia tidak pernah mengantar keempat anaknya ke rumah sakit sejak anak pertama hingga anak terakhir. Sukma membiarkan dan mewujudkan keinginannya demi anak-anaknya.
Sukma diantar oleh Nurdi ke rumah sakit internasional yang terkenal dengan pelayanan yang baik dan penanganan yang cepat dilengkapi dengan Dokter yang kompeten.
Ia periksa di Dokter umum, tetapi diarahkan ke Dokter kandungan dan membuat Nurdi dengan penjelasan dokter.
“Kenapa kamu diarahkan ke Dokter kandungan, ya? Apakah dia masih ada di jam malam seperti ini?” Nurdi heran dengan saran Dokter.
Nurdi mengetahui sesuatu darinya yang mengatakan bahwa Sukma tidak akan hamil karena buka masa subur sehingga membuatnya merasa aneh, tetapi diikuti olehnya.
Sukma berkeringat dingin ketika Dokter umum menyarankan untuk periksa ke Dokter kandungan.
Sukma tidak siap untuk mendengar hasil yang keluar berdasarkan alat USG dan dari diagnosis Dokter.
“Mbak Sukma?” Dokter wanita mengenakan jilbab menyapa Nurdi dan Sukma dengan ramah.
Keringat dingin Sukma bercucuran dengan deras sampai telapak tangan dingin.
“Mbak tegang? Takut sama jarum, Mbak?” tanya Dokter wanita itu dengan senyuman lebar.
Sukma bukan takut dengan jarum, tetapi kehamilannya diketahui oleh ayahnya. Ia tidak sanggup memberitahunya karena berniat untuk menggugurkannya.
“Apakah Mbak mengalami keterlambatan datang bulan?”