Sukma menelan air saliva sembari mengalihkan bola mata ke arah lain selama tiga detik. “Aku hanya memastikan saja bahwa ibu tidak akan pernah menanyakan jumlah gaji dan memintanya hanya untuk kepentingan ibu saja,” jawabnya tegas.
“Apakah kamu menjadi anak yang perhitungan terhadap orang tua yang tidak pernah perhitungan terhadap anak-anaknya?” tanya Cassandra nada tinggi.
“Cukup, hentikan!” seru Nurdi dengan intonasi penekanan.
Sukma duduk di dekat meja kayu sambil menegak air mineral dari termos. Ia mendinginkan hati dan pikiran yang sering panas dengan meminum segelas air.
Sukma mencoba untuk memahami ibunya, tetapi tidak bisa dilakukan olehnya seperti sikap yang dilakukan kepada ayahnya. Perasaan itu muncul karena sering melihat sikap ibunya yang sering tidak peduli dengan anaknya.
Apa pun yang terjadi padanya, Sukma tetap pada keputusannya yang tidak bisa diganggu gugat. Orang tua yang tidak memiliki apa pun lagi membuat hatinya tergugah bahwa harus hidup mandiri.
“Kenapa anakmu perhitungan seperti itu kepada kita?” protes Cassandra dengan intonasi penekanan sambil bergetar.
“Dia gak perhitungan, tapi trauma melihatmu dan mendengarkan yang terjadi pada kita kemarin. Kamu sudah kucukupi untuk kebutuhan, tapi malah meminjam uang kepada rentenir yang berbunga sampai menumpuk utangnya.”
“Itu masalah yang lain, tapi aku tidak suka cara dia berbicara kepada kita sebagai orang tuanya. Dia seperti takut akan kehilangan uang,” balas Cassandra dengan intonasi penekanan dan bergetar.
“Berpikirlah dari sudut pandang Sukma, Bu. Kamu tidak pernah menanyakan kabar sekolah, keinginan dan masalah yang terjadi padanya sampai mengalami hal yang menghancurkan masa depannya. Kamu juga tidak menanyakan perasaan sakit, keluh kesah anakmu setelah mengalami hal itu dan ... kamu tidak pernah memberi semangat kepadanya layaknya seorang ibu terhadap anak. Di mana sifat kasih sayangmu kepada anak dan perhatianmu? Apakah kamu menikah denganku hanya untuk memuaskan napsu belanjamu yang berlebih sedari dulu?” Nurdi menasihati Cassandra dengan lembut dan mencoba untuk membuka pikirannya yang tidak pernah berpikir dari banyak arah.
Nurdi memahami perasaan anak perempuannya dan yang lain. Namun, Cassandra hanya menjalankan tugas sebagai istri dan ibu untuk memasak makanan di rumah.
Cassandra terdiam sembari mengalirkan butiran bening ketika Nurdi protes kepadanya. Dia hanya menundukkan kepala sambil menyeka air mata. Dia terlihat seperti bersalah atas perbuatannya.
Sukma melirik orang tuanya sedang berbicara di kasur susun ketika adik bungsu sedang tidur. Cara mereka untuk berkomunikasi jarang membentak dan nada tinggi ketika terjadi masalah, kecuali salah satu tidak bisa diberitahu dan membantah.
Sukma bisa merasakan kesedihan ibunya yang merasa bersalah atas hal yang terjadi padanya terhadap anak-anaknya. Ia meneteskan air mata dengan deras.