Nurdi menampar Cassandra dengan keras hingga tersungkur di lantai. Sikap dan lisannya sudah keterlaluan terhadap anaknya.
Bagaimana bisa seorang ibu berkata buruk kepada anaknya hanya karena keputusan yang telah diambil olehnya? Bagaimana bisa soerang ibu tidak memberikan dukungan terhadap anaknya?
Apakah itu yang dikatakan seorang ibu ketika anaknya mengambil keputusan untuk hidupnya?
Cassandra menoleh dengan tatapan yang tajam dan memerah.
Sukma terkejut saat Ayah menampar ibunya untuk pertama kali. Dia tidak pernah bermain tangan terhadap anak dan istrinya dan lebih memilih untuk mengalah. Namun, kali ini beda.
Ia bisa memahami hal yang dilakukan oleh ayahnya karena sikap dan lisan ibu yang sangat keterlaluan. Dia tidak memberikan doa dan dukungan atas keputusan anaknya untuk menjadi perempuan dewasa dan mandiri.
“Apakah ini sifat aslimu?” tanya Cassandra sambil berdiri dan meneteskan air mata.
Sukma mengintip dari balik besi kasur susun di atas. Tatapan Ayah yang tajam bak amarah yang meledak setelah dipendam beberapa hari.
“Aku berhak menamparmu karena kamu sudah keterlaluan dan anak yang kamu hina dan caci adalah anakmu bukan musuhmu, Cassandra! Sadarlah itu! Mereka butuh dukungan dan doa darimu, doa seorang ibu yang sangat diijabah oleh Tuhan!” balas Nurdi dengan intonasi penekanan sambil memegang kedua lengannya dan meneteskan air mata.
Cassandra tersenyum miring sambil menangkis tangannya dengan kasar. “Wow, kamu hebat, ya. Bagaimana dengan sikapmu yang menduakanku selama kamu di sana disaat aku menunggumu di sini untuk pulang dengan selamat dalam perasaan yang campur aduk? Bagaimana dengan itu, Nurdi?!” teriak Cassandra hingga membuat kedua adiknya terbangun kaget lalu tidur kembali dengan menutup diri menggunakan selimut.
“Pelankan suaramu,” pinta Nurdi lembut.
“Kenapa? Kamu takut tetangga kita tahu bahwa kamu dipecat karena seorang pejabat tinggi di Tentara Angkatan Laut berselingkuh dengan wanita lain dan kamu pun tahu bahwa itu sudah tertulis dalam kontrak kerjamu!” teriak Cassandra dengan mengeja kata selingkuh dan membawa jabatannya.
Pertengkaran mereka semakin hebat sampai tidak mengenal waktu dan tidak mempedulikan tetangganya.
Sukma menutup kedua telinga menggunakan tangan lalu dipeluk oleh kakaknya dari belakang. Sontak, ia terkejut melihat sikap kakaknya yang tampak memahami situasi hati dan pikirannya.
Air matanya mengalir ketika dipeluk oleh kakaknya.
“Sabar, ya, Dik. Jangan mempedulikan mereka. Ayah dan Ibu hanya lelah untuk semua ini dan kemungkinan tidak siap menerima kondisi sekarang karena hidup mereka sering bergelimang harta sehingga terkejut dengan fakta yang ada dan belum bisa menerima keadaan saat ini.”
Perkataan kakaknya membuat hatinya terenyuh sambil meneteskan air mata. Seorang kakak yang jarang sekali bicara, tetapi bisa menjadi orang yang tidak membela siapa pun dan tetap netral.
Bahkan, pemikiran dewasa yang dimiliki kakaknya tidak terlintas dalam pemikirannya. Sukma berbalik badan lalu memeluknya erat.