Sukma membisu dengan tatapan dan pikiran kosong. Ia tidak bisa mengatakan hal sebenarnya di hadapan ibu, kakak dan adiknya.
“Sukma!” bentak Cassandra hingga membuat kedua pundaknya terangkat.
Tidak ada satu pun cara yang baik untuk disampaikan olehnya. Jika ia mengatakan yang sebenarnya maka banyak hati yang terluka. Bahkan, ayahnya juga telah setuju kepadanya untuk tidak memberitahu siapa pun.
Namun, janji itu diingkari sampai membuat semuanya terkejut.
Sukma menyeka air mata yang mengalir deras di pipi. Ia menarik dan membuang napas secara perlahan sambil membasahi bibirnya yang mulai mengering karena angin dari luar yang masuk ke rumah.
“Apakah ibu ingin tahu yang sebenarnya?” Sukma bertanya balik kepadanya dengan pelan.
“Apa maksudmu bertanya seperti itu?” tanya Cassandra yang berusaha mengecilkan nada bicaranya.
“Sukma hanya ingin tahu respons ibu ketika aku menjawab pertanyaan ibu,” jawabnya pelan sambil menatap ibunya yang menatap tajam ke arahnya.
“Apa pun yang terjadi padamu, ibu tetap tidak peduli denganmu. Kamu mau hamil atau tidak, juga bukan urusan ibu karena kamu sudah mengambil keputusan untuk hidupmu sendiri.”
Sukma hanya mengangguk sambil tersenyum tipis dan menyeka air matanya. Ia tahu akan sesuatu yang harus dilakukan olehnya.
“Baiklah. Sukma tidak akan menjawab pertanyaan dari Ibu karena Ibu tidak peduli dengan Sukma. Jadi, untuk apa Sukma susah payah panjang lebar menjawab pertanyaan itu,” balas Sukma lalu meninggalkan Cassandra untuk bersiap ke sekolah.
Cassandra berdesis ketika anaknya membalas perkataannya yang kurang sopan. Semua yang dikatakan olehnya tidaklah benar dan patut dicontoh.
“Nak.”
Cassandra menyelesaikan tugasnya sebelum berangkat sekolah. Ia membawa koper dan tas ransel dengan keluar rumah, tetapi diambil oleh ayahnya dan dibawa oleh ayahnya.
Sukma pergi ke sekolah tanpa berpamitan dan menoleh ke ibunya. Rasa sakit yang ditorehkan oleh ibunya sangat besar sehingga tidak bisa mengalihkannya selama beberapa detik.
Ia pergi ke sekolah naik angkutan umum bersama ayahnya. Koper dan tas ransel dibawa oleh ayahnya.
“Ayah mengunjungimu ke sekolah setelah kamu pulang sekolah.”
Sukma mengangguk yakin sambil tersenyum lebar lalu mengecup punggung tangannya. Ia mempercayai ayahnya untuk mencari tempat tinggal yang layak dengan pengawasan yang ketat.
Sukma baru saja duduk di bangku sekolah teringat dengan keinginannya saat pergi dari rumah tidak memberitahu tempat tinggalnya yang baru kepada siapa pun untuk menenangkan pikiran.
Namun, semua sudah terlambat karena Nurdi mencarikan sebuah kos yang layak untuk putri kesayangannya. Sukma memukul dahinya pelan karena bisa lupa dengan keinginannya.