“Ayah yakin karena hanya itu pekerjaan yang kemungkinan besar menerima Ayah sebagai karyawan karena sudah memiliki catatan buruk saat dipecat dengan tidak hormat.”
Sukma terdiam sambil menatap ayahnya yang berbinar ketika mengatakan hal itu kepadanya. Dia seperti menahan tangis yang akan tumpah saat pekerjaan yang menurun sebagai kuli bangunan.
“Apa pun pekerjaan yang Ayah lakukan adalah halal maka tidak masalah untuk Sukma, tapi Ayah jangan menduakan ibu lagi, ya. Ibu sangat marah kepada Ayah sampai tidak menghormati dan menghargai Ayah sebagai suaminya.”
“Kamu masih peduli dan sayang kepada ibumu?” tanya Nurdi yang terkejut saat mendengar perkataan anaknya.
“Sukma tetap dan selalu menyayangi orang tua Sukma, meskipun mencaci dan menghina Sukma seperti musuhnya. Sukma juga berharap ibu bisa berubah dan hatinya semakin lembut karena Sukma ingin punya ibu yang sayang kepada anak-anaknya dan bisa dijadikan sebagai teman, sahabat. Sukma ingin seperti itu,” jawab Sukma bergetar sambil meneteskan air mata.
Nurdi memeluk Sukma erat sambil mengusap punggungnya lembut. Dia tidak percaya bahwa anaknya tidak menyimpan kebencian terhadap ibunya, meskipun dalam diri Sukma terdapat kebencian terhadap ibunya karena perkataan dan sikap kepadanya.
Namun, kebencian itu tertutup oleh rasa kasih sayang anak terhadap ibu hingga menyimpan harapan yang baik untuk ibunya. Bahkan, Sukma memiliki doa untuk ibunya.
“Ayah yakin ibu akan seperti itu kepada Sukma, Kakak dan dua adik suatu hari nanti.”
“Tapi, Sukma punya rasa benci kepada ibu karena perkataan ibu yang buruk terhadap Sukma. Sukma sedih dan marah dengan hal itu. Sukma hanya ingin dukungan dan doa dari seorang ibu bukan cacian dan hinaan,” isaknya dalam pelukan ayahnya.
Nurdi memeluk Sukma semakin erat sambil mengelus punggungnya lembut. Tidak ada kata yang bisa dikeluarkan olehnya saat anak kesayangannya menangis karena harapan yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Sepuluh menit berlalu, menangis Sukma mereda dan tidak ada lagi isak tangis dalam dadanya. Nurdi mengecup kening Sukma perlahan dan lembut.
“Ayah pulang dulu, ya. Kamu hati-hati di sini.”
“Baiklah. Ayah, aku boleh minta permintaan dan tolong kabulkan?” tanya Sukma lembut sambil menatap lamat.
“Katakan, Nak.”
“Tempat tinggal Sukma jangan diberitahu kepada siapa pun. Sukma masih ingin sendiri dan jika suatu hari nanti ibu menanyakan tempat tinggal Sukma, jangan diberitahu sampai Sukma siap untuk bertemu dengannya.”
“Kenapa? Apakah ibu tidak berhak tahu?”
“Ibu tidak berhak tahu karena menyembuhkan luka yang sudah digoreskan olehnya membutuhkan waktu lama.”
“Baiklah. Jaga kesehatanmu dan janinmu karena kamu harus memberi makan untuk dua orang untuk saat ini dan bukan hanya kamu saja,” pesan Nurdi tegas terhadap kesehatannya.