“Satu tahun?”
Nurdi berusaha menebak pertanyaan dari Sukma. Sukma menggeleng pelan sambil menikmati es krim.
“Sukma tidak makan es krim selama dua tahun setelah Ayah kembali berlayar. Sejak itu, Sukma tidak makan es krim karena tidak ada yang tahu kesukaan Sukma dan uang jajan yang dikasih Ibu juga tidak lebih sehingga kalau mau membelinya merasa sayang dengan uang yang disimpan untuk kebutuhan sekolah yang lebih sering mendadak.”
“Kalau urusan sekolah pasti dikasih sama Ibu, Nak.”
Sukma mendelik sambil mengangkat kedua alisnya. Dia tidak pernah tahu Ibu akan memberinya jika kebutuhan sekolah karena Ibu tidak pernah mengatakan apa pun soal uang sekolah kepada ketiga anaknya.
“Sungguh? Apakah ibu akan memberikannya?” tanya Sukma sambil menikmati es krim.
“Iya. Kalau Sukma minta pasti dikasih sama Ibu karena Ayah memberi uang saku untuk ketiga anak yang sudah bersekolah.”
Sukma hanya mengangguk. Tidak lama, es krim dalam genggamannya telah masuk di perutnya.
Sukma teringat dengan pekerjaan yang pernah dikatakan oleh ayahnya.
“Ayah sudah kerja? Apakah Ayah bekerja menjadi kuli bangunan?” tanya Sukma sambil mengambil botol air mineral untuk ayahnya.
“Ayah sudah bekerja dan menjadi kuli bangunan,” jawab Nurdi semangat lalu meminum air mineral dari anaknya.
“Alhamdulillah. Bagaimana rasanya? Apakah berat untuk Ayah atau Ayah merasa tidak berat dan senang karena bisa merasakan pekerjaan baru?” tanya Sukma penasaran sambil menatap ayahnya.
“Ayah senang sekali karena mendapatkan pekerjaan baru dan bisa menafkahi keluarga. Ayah merasa sangat senang dengan pekerjaan yang belum pernah dilakukan. Pekerjaan yang terlihat mudah saat kita memandang dari kejauhan, tetapi semua yang terlihat mudah tidak semudah yang dilakukan saat memandang orang yang melakukan pekerjaan kuli bangunan yang bisa dikatakan dan sering diucapkan seperti hanya meletakkan batu ke sudut sana dan menatanya tanpa berpikir sama sekali. Namun, semua itu salah selama ini.”
“Kenapa bisa salah? Apa yang membuat Ayah bisa berpikir seperti itu?” tanya Sukma penasaran sambil menopang dagunya.
“Memindah batu atau bahan baku lainnya ternyata tidak mudah saat memandang. Ayah memindah batu bata, semen, mengeruk semen juga membutuhkan energi untuk berpikir. Semua pekerjaan ternyata membutuhkan pikiran dan perkataan banyak orang salah. Mereka hanya melihat satu sudut pandang seperti kita yang belum pernah merasakannya. Ayah berkata seperti ini karena sudah merasakannya dan tidak ingin meremehkan pekerjaan apa pun.”
Sukma bertepuk tangan setelah Nurdi menjelaskan pekerjaan barunya. Dia terlihat tidak merasa terbebani dan merasa senang karena diberi kesempatan untuk bekerja dan menafkahi keluarganya dengan pekerjaan yang jauh berbeda dari pekerjaan sebelumnya.