Sukma mengangkat kedua pundaknya secara bersamaan. Ia tidak berani mengatakan tidak percaya terhadap ketentuan sang Pencipta karena telah menghancurkan masa depannya.
Ia berpikir bahwa semua yang terjadi padanya karena sang Pencipta yang tidak sayang dan cinta kepadanya sehingga untuk mempercayai rencana dan ketetapan yang sudah diatur tidak mudah untuknya.
Sikap skeptis yang ada dalam dirinya sudah ada ketika ia hanya akrab dengan ayahnya dan sang ibu tidak pernah bersikap hangat seperti yang dilakukan oleh ayahnya.
Sukma sedang berada dalam ketidakpercayaan dalam beragama dan ketetapan yang diatur oleh Sang pencipta.
Bahkan, Sukma memiliki pemikiran bahwa sang Pencipta tidak harus melakukan semua itu padanya dan cukup mendapatkan perlakuan dari ibunya yang dingin tanpa harus merenggut kebahagiaan dan harapannya.
Sukma sangat marah kepada sang Pencipta sampai menyingkirkan semua yang ada di kepalanya.
“Apakah Sukma mulai kehilangan kepercayaan?” tanya Nurdi pelan bak dari hati ke hati.
“Ya. Sukma marah terhadap Allah karena sudah mengambil semua yang ada pada Sukma. Semua hancur dalam sekajap dan ... sepertinya Allah tidak menginginkan Sukma bahagia dan melanjutkan hidup dengan tenang, nyaman dan tentram. Selain itu, Sukma juga mulai kesal dan marah kepada Nenek karena Nenek yang menyebabkan semuanya sampai Sukma menjadi seperti ini. Apakah itu yang dinamakan adil?” kata Sukma dengan intonasi penekanan sambil menelan saliva dan mengepalkan tangannya erat.
Nurdi memegang dan menggenggam tangannya erat.”Semua sudah tertulis dalam hidup kita atas peristiwa yang akan terjadi sebelum Ayah dan Sukma dilahirkan di dunia. Allah adalah rencana yang paling indah. Dia tidak pernah membuat hamba-Nya sengsara dan selalu ada jalan dan hadiah yang sangat baik ke depannya, meskipun saat ini sedang kesusahan.”
“Sungguh? Apa buktinya? Bukti yang jelas dan dilihat oleh Sukma bukan kejadian yang indah, tetapi kejadian yang sangat menyakitkan sampai harus kehilangan masa bermain yang seusia Sukma. Sukma terkadang masih ingin main pada umumnya, tapi Sukma harus menjalani hidup yang harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup Sukma dan biaya persalinan nanti. Masa bermain itu tidak akan pernah kembali ketika Sukma bertambah usia,” balas Sukma sembari meneteskan air mata.
Sukma bersikeras dan membantah semua nasihat dari ayahnya. Semua itu terkalahkan oleh bukti nyata yang dilihat, dirasakan dan dialami jelas olehnya sehingga masih belum bisa menerimanya dengan baik, lapang dada dan pikiran yang jernih.
Nurdi hanya menghela napas panjang sambil tersenyum dan mengusap kepala anaknya dengan lembut. Dia terlihat sangat memahami yang dirasakan olehnya karena usia Sukma yang masih belia memiliki pemikiran sendiri dan egois yang besar.
“Apakah Sukma tidak bahagia dengan semua ini?”