“Ibu yang memulai. Sukma datang ke sini dengan niat baik untuk bertemu dengan kakak dan kedua adiknya, tapi Ibu malah mencecar pertanyaan yang menyakitkan dengan kalimat caci makian yang diutarakan kepada Sukma. Ibu tidak pernah menyayangi Sukma sejak Sukma masih kecil dan terlihat sangat membenci. Apakah ibu menyadari sikap dan lisan yang sering kali keluar dari mulut ibu?” cerocos Sukma dengan intonasi penekanan sambil meneteskan air mata dan menatap Cassandra yang memalingkan wajahnya dengan bibir dan dagu yang digerakkan ke kanan dan kiri.
“Apakah yang dikatakan Sukma benar, Bu?” tanya Nurdi pelan sambil memegang pundak istrinya.
“Semua yang dikatakan Sukma memang benar, Ayah. Ibu yang memulai dan ada dua saksi di sini sampai adik yang ada dalam gendongannya memukul wajahnya sendiri.”
“Kalau dia sampai memukul wajahnya sendiri artinya keributan yang terjadi di sini sangat parah.”
“Iya, Ayah,” jawab Caroline.
Nurdi menghela napas panjang dengan berat sambil mengusap seluruh wajah dan menggaruk kepala. Wajah dan pandangan dialihkan keluar jendela sambil berdesis.
Dia terlihat seperti tidak tahu cara menghentikan perdebatan dan perselisihan yang sering terjadi dengan istri dan anaknya.
“Jika Ibu dan Sukma seperti ini terus, bagaimana bisa mengharapkan keluarga yang hangat. Semua harus mengesampingkan rasa egois, terutama Ibu. Ibu tidak pantas mengeluarkan kalimat hinaan, caci makian dan buruk kepada anaknya karena setiap kata yang keluar dari mulut seorang ibu bisa menjadi doa untuk anak-anaknya. Apakah ibu menginginkan semua anak-anak kita hidup dengan sengsara seperti kita dan tidak mendapatkan jalan yang baik untuk mereka?” cecar Nurdi lembut sambil menatap Cassandra yang mengalihkan pandangan.
Sukma, Caroline dan kedua adiknya mematung dan membisu sambil menatap ibunya yang masih berdiri di samping ayahnya dengan pandangan ke kasur atas. Cassandra menaiki kasur susun setelah diberi pertanyaan oleh suaminya.
Sukma masih tidak memahami ibunya yang tidak menjawab pertanyaan ayahnya. Dia terlihat seperti dua jawaban. Dua jawaban antara lain peduli dan tidak peduli tanpa perasaan apa pun kepada keempat anaknya.
Sukma menggendong anak bungsunya lalu menggandeng tangan Sukma dan diajak keluar rumah. Caroline dan adik lelakinya mengikuti langkah ayah dan kakaknya yang menuju ke taman.
Tidak ada satu anak yang mau dan mendekati ibunya karena sikapnya. Sukma hanya terdiam dan menundukkan kepala hingga tiba di taman di dekat rumahnya.
Tangan Caroline, adik lelaki dan ayahnya memegang tangannya yang berada di pahanya. Tanpa terasa air mata membasahi tangan ayahnya.
Sontak, Nurdi menyeka air matanya menggunakan tangan lainnya. Sukma dipeluk dan dihibur oleh ketiga saudara dan ayahnya.
“Jangan bersedih, Dik.”