Sukma baru memakan nasi sebanyak lima suap ke mulutnya dan ditelan hingga masuk ke dalam perutnya tiba-tiba terhenti ketika mendengar seorang pria mencarinya dari luar ruangannya.
“Bisa bicara dengan Mbak Sukma?”
“Mohon maaf, Pak. Tidak ada yang namanya Sukma di sini.”
“Bohong. Saya ingin bertemu dengannya sekarang. Panggilkan dia sekarang!” teriak seorang pria.
Keributan di luar ruangannya yang berada di lantai satu jauh di bawah tangga membuat Sukma bergegas keluar ruangan dengan mempercepat langkahnya dan ditemani oleh rekan kerjanya bernama Ani Sundari.
Sukma dituntun oleh Ani dengan berada di sampingnya dan siap menerima caci makian dari seseorang yang kemungkinan protes atas pelayanannya melalui telepon.
Namun, langkah Sukma terhenti ketika mendengar nama ayahnya disebutkan dalam kondisi yang membuatnya hampir terjatuh dan dipegang oleh Ani secepat kilat.
“Mbak Sukma, Ayah Anda kecelakaan. Tolong cepat kemari dan ikut saya!” panggil pria itu dengan nada tinggi.
Jantung Sukma berhenti berdetak selama beberapa detik dan darah seperti tidak memompa ke seluruh tubuhnya hingga membuatnya sedikit pusing.
Sukma kaget bukan main. Ia berdiri dan berdiam selama lima menit untuk menyeimbangkan tubuh dan pikirannya setelah mendapatkan kabar ayahnya mengalami kecelakaan.
“Apakah Anda tahu nama Ayah Mbak Sukma, Pak?”
“Ya, nama ayahnya adalah Nurdi Angkasa. Panggil dia sekarang, Mbak. Ayahnya membutuhkannya di rumah sakit!” sentak seorang pria.
Salah satu karyawan resepsionis memasuki ruangannya dengan terburu-buru dan panik ketika melihat kondisi Sukma yang pucat dan hampir tumbang sembari memegang tangannya.
“Apakah Mbak baik-baik saja?”
“Saya baik-baik saja, Mbak. Siapa pria itu, Mbak? Apa yang dikatakan oleh pria itu?” tanya Sukma penasaran, padahal ia sudah mendengar jelas perkataan pria itu.
“Pria itu sepertinya teman Ayah Mbak. Dia menginginkan Mbak untuk datang ke sana karena ....”
“Saya sudah mendengarnya, Mbak.”
“Apakah Mbak tidak apa-apa mendengar kabar itu?”
Sukma tersenyum tipis sambil mengambil dan membuang napas perlahan dengan perut yang terasa menegang. “Tidak apa-apa, Mbak.”
“Saya yang mengantar Sukma ke depan, Mbak,” kata Ani sembari memegang lengannya.