SUKMA: Masa bermain yang hilang

Anggy Pranindya Sudarmadji
Chapter #32

32. Kesadaran Ayah

Sukma mengembuskan napasnya dengan keras sembari menatap tajam ke arah rekan kerja ayahnya. Dia bertanya seperti seorang wartawan sedang mencari berita untuk dipublikasikan dan menjadi bahan pembicaraan di televisi.

“Apakah Anda seorang wartawan?” tanya Sukma dengan intonasi penekana sambil berdecak dan menatapnya.

“Tidak. Maksud saya ad—”

“Jika bukan seorang wartawan atau jurnalis yang ingin mencari berita untuk dijadikan bahan pembicaraan kepada banyak orang, Bapak lebih baik diam dan tidak perlu mengurusi urusan orang lain dengan menanyakan yang seolah memberi saran, tetapi ingin tahu apa yang terjadi dengan saya karena kondisi saya seperti ini tanpa ditemani seorang suami yang selalu ada di samping saya,” cerocos Sukma dengan intonasi penekanan sambil menatap tajam.

Kesabaran Sukma menipis ketika seseorang ingin tahu permasalahan pribadinya dengan dalih bertanya yang menyarankan kebaikan.

Jika Sukma meladeni pertanyaan itu maka arah tujuan bisa merembet ke mana-mana karena ia telah mengetahui tujuannya sebelum mengajukan banyak pertanyaan bak jurnalis sedang mencari bahan untuk disiarkan ke televisi maupun media cetak.

“Maaf, Mbak.”

“Tidak apa, Pak. Lain kali, Bapak jangan bersikap seperti itu karena tidak semua orang bisa memahami arah pertanyaan Bapak dan bisa bersikap lebih buruk dari pada saya. Saya hanya memberikan peringat kepada Bapak agar Bapak tidak mengulanginya,” balas Sukma tegas.

“Iya, Mbak. Saya kembali bekerja, ya, Mbak.”

“Silakan. Terima kasih, Pak.”

“Sama-sama, Mbak. Semoga Pak Nurdi lekas pulih dari sakitnya dan bisa bekerja kembali.”

“Terima kasih, Pak,” kata Sukma sambil membungkukkan tubuhnya sedikit dan tersenyum tipis kepadanya.

Sukma masih menghormati pria seperti dia yang tidak sopan dan ingin ikut campur ke masalah pribadi seseorang.

Rekan kerja ayahnya keluar dari kamar ayahnya. Sukma menghela napas panjang dengan lega ketika bisa membantah dan mengalihkan pertanyaan dari rekan kerja ayahnya.

Ia tidak akan pernah mengungkapkan masalah pribadi ke banyak orang. Ani tidak mengetahui masalah yang pernah dihadapi olehnya sehingga ternganga ketika melihat Sukma yang ternyata bisa tegas, teguh pada pendirian dan marah kepada seseorang yang ingin ikut campur ke kehidupan pribadinya.

Sukma duduk di kursi yang sudah disediakan oleh pihak rumah sakit tepat berada di samping ranjangnya. Jemari dipegang dan digenggam erat oleh tangannya sembari menatap lamat dan penuh perhatian kepadanya.

Lihat selengkapnya