Sukma terkejut saat Ayah membentak setelah mengetahui kakinya tidak ada setengah. Air mata menetes saat ayahnya menatap tajam kepadanya.
Tatapan yang penuh dengan kemarahan bisa dirasakan olehnya ketika Nurdi tidak menginginkan hal itu terjadi.
“Iya. Kaki Ayah diamputasi.”
“Kenapa? Apakah tidak ada cara lain selain amputasi?” tanya Nurdi dengan intonasi penekanan.
“Semua itu sudah dipikirkan oleh Sukma dan saran dari Dokter karena sebelum memutuskan, Sukma selalu berpikir risiko dan solusi dari masalah. Sukma membutuhkan waktu satu jam untuk memutuskannya, Yah tanpa mendiskusikan dengan siapa pun. Sukma juga memikirkan kebaikan Ayah dengan berbagai macam alasan untuk memutuskan sesuatu yang tidak menghambat aktivitas Ayah dan tidak membuat Ayah bersedih dan berkecil hati saat melakukan aktivitas.”
“Kenapa kamu tidak mendiskusikan dengan Ibu dan kakakmu? Kenapa kamu berpikir sendiri? Kenapa kamu selalu memikirkan semuanya sendiri, Nak?” protes Nurdi dengan nada tinggi sampai wajahnya memerah.
“Ayah tahu jawabannya, meskipun Sukma tidak menjawabnya. Sukma tidak pernah memikirkan semuanya sendiri karena tidak ada seseorang yang bisa diajak bicara untuk mengambil keputusan. Jadi, seolah-olah semuanya sendiri dan itu yang tidak diinginkan karena Sukma sempat memikirkan mereka semua sebelum memutuskan dan mengambil tindakan, tapi setelah dipikir bahwa akan menjadi bumerang dan tidak bisa menyelamatkan Ayah,” jelas Sukma bergetar sambil terisak.
“Jadi, maksudmu, jika kamu memberitahu ibu dan Kak Caroline maka bisa menjadi permasalahan baru dan Ayah tidak tertolong?” tanya Nurdi yang nadanya sudah merendah.
“Iya. Sukma memikirkan hal itu karena ibu tidak menyukai Sukma dan selalu bertengkar setiap bertemu. Sukma tidak menginginkan itu terjadi di tempat umum dan hubungan keluarga diketahui oleh banyak orang di depan umum. Jadi, Sukma memutuskan sendiri dan bertanya kepada Dokter dari setiap risiko dan solusi yang terbaik untuk Ayah.” Sukma menambahkan penjelasan dengan baik kepada ayahnya.
Nurdi membisu dengan mengalihkan pandangan ketika matanya telah memerah dan berbinar. Butiran bening Nurdi mengalir di pipi setelah mendapatkan penjelasan dari anaknya.
Dia terlihat seperti menyesali masalah yang telah terjadi dan menimpa dirinya sampai harus melibatkan keluarganya. Namun, penyesalan itu selalu datang belakangan dan Ayah sedang memikirkan sesuatu sembari memandangi kakinya yang tidak ada satu.
“Apakah Ayah menyusahkanmu, Nak?” tanya Nurdi pelan.
“Tidak sama sekali. Sudah menjadi tugas Sukma untuk melengkapi peran Ibu sebagai anak. Sukma tidak akan pernah bisa menggantikan peran ibu karena ibu lebih kuat sehingga melengkapinya ketika kondisi ibu kurang sehat. Sukma minta maaaf kalau salah mengambil keputusan,” rengek Sukma sambil memegang tangan ayahnya.
“Apa yang kamu temukan ketika memikirkannya sebelum mengambil keputusan dan tindakan?” tanya Nurdi pelan dan terlihat ingin mengetahui jawabannya sembari menatap Sukma lamat.