Dokter Yuliantus terbangun dari duduk dan mendekatinya yang berdiri di dekat pintu darurat dengan menatapnya lamat.
Tatapan seorang Dokter kepadanya sangat teduh dan menyejukkan hati. Dia seakan memahami dan mengerti perasaannya hingga membuat langkah Sukma mundur satu langkah.
Paras seorang Dokter yang menyejukkan hati pasien dengan sikap yang bisa menghangatkan pasien maka membuat pasien lebih cepat sembuh.
“Emosi seorang ibu sedang mengandung tidak baik untuk janinnya karena bisa menjadi sikapnya setelah lahir di dunia ini. Tidak hanya itu, berhati-hatilah dalam berucap saat mengandung karena bisa membahayakanmu dan janin.”
Sukma terdiam ketika Dokter Yuliantus menasihatinya dengan lembut tanpa bertanya penyebabnya menangis dan menghakiminya.
Ia sangat terpaku dengan sikapnya yang lembut dan hangat. Bahkan, ia bisa merasakan kehangatan di sekitarnya selama beberapa menit.
Bola mata berwarna cokelat yang bisa dilihat dari balik kacamatanya yang bening dan sesuai dengan bentuk wajahnya membuat seluruh darah seakan berhenti mengalir dengan hiasan senyuman panjang dan lebar di bibirnya membuat jantung berhenti berdetak.
Namun, Sukma masih berusaha menyembuhkan luka trauma sehingga menggeleng kepala dengan cepat untuk menyadarkan diri bahwa ia tidak pantas untuk siapa pun karena kehormatan sudah direnggut oleh pria beringas.
Keinginan untuk membangun sebuah hubungan dengan pria lain masih diurungkan olehnya dengan alasan yang sama untuknya.
Bahkan, ia tidak yakin ada pria yang bisa menerima dan mencintai dirinya dengan sepenuh hati dan apa adanya. Seluruh masa lalu yang dimiliki olehnya bisa diterima olehnya.
“Terima kasih untuk nasihatnya, Dok. Saya titip ayah, ya.”
“Kenapa kamu menitipkan ayahmu? Apakah kamu tidak akan kembali ke sini?” tanya Dokter Yuliantus bingung sambil mengernyitkan dahi.
“Saya titip Ayah karena sangat sibuk dengan pekerjaan dan apa pun yang ada ke depan,” jawab Sukma dengan senyuman tipis lalu pergi meninggalkannya. Tangan Sukma dipegang oleh Dokter Yuliantus secepat kilat hingga membuatnya mendelik dan menampis tangannya dengan cepat.
“Maaf, Dok.”
Dokter Yuliantus tercengang melihat refleknya yang secepat itu ketika tangannya dipegang olehnya. Sukma pergi meninggalkannya setelah menampis tangannya sekuat tenaga.