Sukma hanya melirik pria yang ada di dalam angkutan umum dengan tatapan yang ketus dan sinis. Ia risi dengan sikapnya yang mengenalnya.
Sukma menekan tombol di langit angkutan umum sebanyak dua kali untuk turun. Ia bergegas memasuki kosnya dan mengunci pintu rumah dengan rapat agar tidak ada siapa pun yang bisa memasuki tempat kosnya secara sembarangan.
Pria yang berada di dalam angkutan umum masih memandanginya dan membuat Sukma mengalihkan pandangan. Ia masuk ke kamar kos saat angkutan umum pergi dari depan rumahnya.
Ia membersihkan diri sebelum mengistirahatkan pikiran dan tubuhnya. Sukma tidak pernah menonton televisi dan bermain handphone karena tidak memiliki keduanya.
Dua benda itu tidak dimiliki olehnya karena masih merasa tidak membutuhkannya. Namun, ia menyadari bahwa harus mempunyai handphone untuk berkomunikasi dengan rekan kerja dan keluarganya.
Beberapa menit berlalu, Sukma menyelesaikan aktivitasnya lalu merebahkan badan di atas ranjang dengan mengamati langit-langit kamar kos yang berwarna putih dengan hiasan lampu dengan warna yang sama.
Helaan napas panjang dengan berat membuatnya bersyukur atas kehidupan yang dijalani hari ini. Namun, Sukma merasa kesepian dan kosong hatinya karena tidak melihat wajah ayah dan saudaranya setelah dari rumah sakit lima bulan yang lalu.
“Aku rindu sama Ayah. Kapan bisa bertemu kembali, Ayah? Semoga bisa bertemu lagi disaat ibu sudah baik kepadaku, ya? Aku rindu sama ibu juga, meskipun ibu sering memarahiku, tetapi aku sangat sayang kepadanya. Jika aku tidak melihat Ayah rasanya hatiku hambar dan merasa hidup sendiri di dunia ini karena tidak ada yang bisa diajak bicara untuk menceritakan kejadian hari ini, kemarin dan beberapa detik yang lalu. Jika ada Ayah di sini, Ayah selalu tanya hari-hariku di mana pun berada, apa yang kulakukan seharian dan pelajaran apa yang kuambil sampai bisa mengambil keputusan yang mungkin susah untuk anak seusiaku. Semua aku pelajari dari yang kulihat dan kudengar, Yah.”
Sukma meluapkan rasa rindu kepada ayah dan keluarganya dengan memandangi langit yang tiada hiasan apa pun. Ia menarik dan membuang napas perlahan sebanyak berkali-kali karena dada terasa sesak disaat menyadari kekosongan hati yang tidak pernah bertemu dengan keluarga.
Sukma tidak bisa menahan diri untuk tidak bertemu dengan keluarganya, tetapi ia harus melakukannya demi kebaikan bersama.
Sukma perlu menjaga hati dan kesehatan mentalnya dari godaan apa pun yang bisa membuatnya jatuh dalam fisik maupun mental.
Tekanan yang dilakukan oleh ibunya sangat luar biasa sampai tidak ada celah untuk menjelaskan yang ada dalam pikirannya.
Ibu selalu menyalahkannya atas apa pun yang terjadi di keluarganya dan menjatuhkannya dengan kalimat yang menyakitkan hingga membuatnya terjatuh dan semakin terjatuh ke dalam lubang.
Sukma berjuang sendiri untuk mengatasi kesehatan mental agar tidak menjadi wanita yang memiliki penyakit gangguan jiwa.
Ia memejamkan mata dengan sempurna dengan lampu yang telah dimatikan olehnya. Pikiran dan tubuh beristirahat dengan tenang. Walaupun hati masih gundah.
Beberapa jam berlalu, Sukma terbangun sembari meregangkan badan perlahan dan memegang pinggang. Tubuh Sukma mulai merasakan sakit di pinggang dan kaki sehingga ia mengambil izin tidak bekerja untuk memeriksakan kandungan dan berolahraga khusus ibu hamil.
Sukma bergegas pergi dari kamar kos menuju rumah sakit dengan menaiki angkutan umum dan duduk di bagian kursi penumpang dekat supir.
“Mau ke mana, Mbak?”
“Saya mau ke rumah sakit Internasional, Pak.”