SUKMA: Masa bermain yang hilang

Anggy Pranindya Sudarmadji
Chapter #38

38. Sukma Melahirkan

“Dia adalah paman dari Adi Sudrajat. Ayah mencari informasi tentang keberadaan Adi dan ayahnya, tetapi tidak menemukannya dan hanya menemukan informasi tentang pamannya. Ayah sudah menemui paman Adi untuk meminta pertanggung jawaban dari pihaknya. Dia setuju untuk bertanggung jawab atas semuanya.”

“Semua itu apa saja? Apa gunanya Sukma mengandung selama sembilan bulan ini kalau harus diserahkan kepada orang lain, Yah!” sungut Sukma sambil meneteskan air mata.

Sukma sangat tidak setuju dengan perkataan ayahnya. Walaupun selama ini niat Ayah baik untuk meluruskan semuanya dan meminta pertanggung jawaban terhadap keluarga Adi Sudrajat.

“Biaya dia menyusui, pakaian dan apa pun itu karena paman Adi bekerja sebagai kepala Kondektur perekereta apian. Dia menyanggupinya tanpa mengeluarkan alasannya. Bahkan, dia mengasihani kamu yang masih belia dan harus melanjutkan sekolah,” jawab Nurdi dengan menekan sambil memegang kedua lengan dan menatapnya lamat.

Sukma mengalirkan butiran bening dengan deras sambil menatap lesu. Ia tidak percaya ayahnya sampai melakukan hal itu setelah membiarkan dirinya mengandung, meskipun dia tidak menyukainya.

Sukma masih heran dengan pemikiran orang tua yang sangat tidak berperi kemanusiaan. Ia mengandung, melahirkan dan anak diserahkan kepada orang lain tanpa menyusuinya.

“Sukma tidak mengerti dengan jalan pikiran Ayah.”

“Apa maksudmu?” tanya Nurdi mendelik sambil menekan kedua lengannya.

“Sukma mengandung selama sembilan bulan lalu melahirkan dan tidak diberi kesempatan untuk merawat dan menyusuinya?” tanya Sukma pelan tak berdaya dengan air mata yang mengalir.

“Apakah kamu mengerjakan itu semua sendiria tanpa bantuan siapa pun? Apakah kamu sanggup dengan biaya yang bukan kamu saja? Apakah kamu sanggup membagi waktu dengan sekolah dan mengurus anak? Apakah kamu sanggup menghadapi caci makian orang lain disaat teman baru di sekolah yang baru datang ke tempat kosmu? Apakah kamu sanggu menghadapi dan melakukan itu semua?!” debat Nurdi dengan intonasi penekanan sampai otot di kening dan leher menonjol.

Sukma menatap datar ayahnya yang terlihat marah kepadanya karena memikirkan semuanya. Dia memikirkan nasib anaknya yang masih belia dengan melihat berbagai sudut pandang.

Sukma terdiam dengan dada yang sesak kembali. Ia terisak kembali sampai sesenggukkan karena tak kuasa menahan apa pun yang mengganjal di dalam dadanya.

Tanpa terasa darah mengalir ke kaki. Darah yang mengalir di kaki membuat Nurdi terkejut. Namun, Sukma masih terdiam setelah mendapat banyak pertanyaan darinya.

Sontak, Nurdi menggendong Sukma lalu mengunci pintu kamar kosnya. Dia mencegah taksi lalu menaiki taksi dengan terburu-buru dan meminta supir untuk mempercepat lajunya.

“Ke rumah sakit Internasional, Pak. Tolong mengebut, ya, Pak. Anak saya pendarahan.”

“Baik, Pak.”

Supir taksi menginjak gas mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Nurdi memegang dan mencengkeram tangannya dengan erat sembari mengusap keringat anaknya yang mengucur dengan deras.

Pandangan Sukma menjadi terpejam setelah mengalami pendarahan. Sukma tak kuat menahan rasa sakit, meskipun dicoba untuk menahannya.

Lima belas menit berlalu, Nurdi tiba di rumah sakit. Dia menggendong Sukma sembari berteriak kepada perawat untuk anaknya segera ditangani.

Lihat selengkapnya