SUKMA: Masa bermain yang hilang

Anggy Pranindya Sudarmadji
Chapter #39

39. Kehadiran yang Tak Diinginkan

Nurdi membisu dan mematung ketika ditanya perihal nama untuk cucunya. Dia tidak memiliki nama apa pun untuknya karena memang sengaja tidak menyiapkan nama.

Dia mengamati wajah mungilnya yang lucu dan tidak bersalah itu. Nurdi menghela napas panjang lalu memalingkan wajahnya.

Saat Nurdi memalingkan wajahnya, Sukma sudah membuka matanya dengan lebar dan menatap ayahnya yang hanya berdiam tanpa menjawab pertanyaan dari Perawat yang menggendong anaknya.

Sedih memang rasanya, tetapi ia juga tidak bisa memaksa kehendak ayahnya yang tidak menerima cucu dari darah dan daging pria yang tidak memiliki adab, beringas dan biadab.

Bahkan, wajah lucu yang dimiliki bayi perempuan tidak membuatnya berubah pikiran sama sekali. Dia tetap tidak ingin menggendong anaknya sesuai dengan perkataan yang sudah diikat dalam janjinya.

Perawat menidurkan bayi perempuan yang mungil, rambut tebal dan kulit yang merah di samping Sukma. Sukma mengusap kepala, pipinya dengan pelan dan lembut.

Senyuman lebar reflek ke terlukis di bibirnya ketika memperhatikan wajah mungil bayi perempuan yang lucu dan membuatnya selalu ingin tersenyum.

Apakah ini efek dari melahirkan? Atau dia pembawa aura positif hingga membuatnya ingin selalu tersenyum? Atau senyuman yang digariskan memang murni dari kebahagiaan yang dirasakan oleh setiap perempuan yang baru saja melahirkan dan menjadi ibu? Apakah ini adalah perasaan alami yang keluar begitu saja saat dimulai menjadi seorang ibu?

Semua pertanyaan itu ada dalam benaknya. Ia penasaran dengan jawaban ibunya ketika bertemu nanti setelah melahirkan seorang anak dan menjadi seorang ibu.

Sukma menjadi seorang ibu di usia yang belia. Namun, ia tidak akan pernah menyusui dan merawatnya lagi karena teringat dengan ucapan ayahnya yang akan memberikan bayi ini kepada paman Adi Sudrajat.

“Sus, anak saya tolong diberi nama Kaila Rania Syahputri. Saya yang memberi nama itu dan tidak perlu diberi tulisan binti,” kata Sukma tegas.

“Tidak perlu diberi tulisan binti, ya, Mbak?”

“Iya.”

“Kenapa tidak diberi tulisan binti? Bukankah itu perlu?”

“Tulis saja sesuai dengan permintaan pasien, Sus. Anda tidak berhak tanya itu karena pasien memiliki masalah pribadi!” jawab Nurdi secepat kilat dengan tegas.

“Baik, Pak. Saya minta maaf,” balas Perawat sambil membungkukkan badan selama dua detik lalu menulis nama anak Sukma di kotak bayi yang ada di samping kasur pasien.

Lihat selengkapnya