Sukma Raga

Yeni fitriyani
Chapter #1

Pudarnya Kepercayaan Ema Lastri

Pagi itu, matahari naik dengan tergesa. Merangkak lebih cepat ke angkasa, tak seperti biasanya. Tak ayal membuat selongsong cahaya dari sela-sela gorden. Kian berubah cepat menjadi sinar yang menyilaukan mata. Juga mengusir kilau butiran debu halus di tengah selongsong cahaya lenyap tak bersisa.

Perubahan cepat alam pagi itu. Rupanya berbanding terbalik dengan geliat manusia, yang justru bergerak lambat. Seperti hewan kukang yang gerakannya super duper lambat. Bahkan Saking lambatnya, mereka acap kali tak bisa menyelamatkan diri dari kebakaran hutan. Boro-boro lari dari kobaran api. Mencari makan saja mereka sepertinya ogah-ogahan.

Hari Minggu adalah hari gerak santai dan bermalas-malasan. Anjani sebenarnya sadar, jika hari telah menyibak pagi. Tapi rasa lelah yang mendera raga, membuatnya bertahan menutup mata. Mempersilahkan mimpi-mimpi tak berarti terus berputar dan saling berkesinambungan di kepala.

Ciiiiitt.

Tubuhnya tiba-tiba tersentak. Bukan karena cahaya matahari yang menyinari kedua kelopak mata. Tapi decitan tajam teko pertanda air telah matanglah yang memecah kedamaian tidurnya. Sukma sempat menyatu dalam raga. Mata sempat melek, tapi kembali merapat. Alam sepertinya sedang menarik ulur sukma dan raga Anjani supaya tidak menyatu seutuhnya.

Di sela tarik ulur itu, terdengar suara keras dari cobek menggeprek gula merah di atas ulekan.

Braak.

"Monyet," Anjani kaget. Kedua matanya sempat terbuka lebar. Tapi tak lama.

“Anjani,” teriak ema Lastri.

Suara cempreng tiga oktaf menggema di tengah suara gilingan mesin cuci yang berada tepat di samping kamar Anjani. Lengkingan dari lubang kerongkongan emanyalah yang nyata menyadarkan Anjani.

“Busyet suara ema Lastri. Lama-lama bisa mati muda ini sih," gerutu Anjani pada ibu kandungnya itu.

"Anjani. Bangun," panggil ema Lastri kambali.

"Iya ma," sahut Anjani lesu.

"Anjani," panggil ema Lastri.

Anjani mendesah kasar. Dengan kesal Anjani melempar selimut yang membalut tubuh. Niat hati ingin hibernasi seharian, sebab semalam pulang kerja larut malam. Pupus sudah. Emanya itu, tak akan pernah rela, membiarkan niatnya itu terwujud. Sebab dia acap kali berkata. Pantang bagi anak gadis bangun terlalu siang. 

“Anjani bangun sudah siang,” teriaknya lagi dari balik dapur.

“Iya sudah bangun kok ma,” sahut Anjani.

Dengan gerakan santai Anjani berjalan malas ke arah jendela kamar. Begitu kedua tangannya terentang lebar-lebar membuka gorden kamar. Anjani meringis. Kedua bola mata seakan dihujam cahaya matahari. Spontan Anjani berjongkok menghindari sang mentari.

Perlahan Anjani membuka kedua mata. Lantas menggelengkan kepala, guna membuyarkan warna kuning yang menjadi latar penglihatannya. Sejenak Anjani bergeming menunggu dunia kembali pada warna semula.

Setelah warna kuning itu hilang. Anjani bangkit dan berjalan terhuyung-huyung ke pinggiran tempat tidur untuk memulihkan kesadarannya.

****

Sementara Anjani masih berkutat dengan kesadaran. Di dapur ema Lastri sibuk berkutat dengan pekerjaan ibu rumah tangga pada umumnya. Tak ada hari libur. Tak ada kata leha-leha di kamus ema-ema. Bahkan di hari Minggu sekalipun. Dapur harus tetap mengepul dan beraroma sedap makanan yang dibuat dengan penuh cinta, untuk mengisi perut orang-orang tersayang.

Kedua tangan ema Lastri sibuk mengulek sambal di atas cobek besar. Bahkan di sela-sela itu, ema Lastri dengan cekatan balik badan untuk mematikan kompor yang berada tepat di belakangnya. Dan seketika lengkingan teko berhenti.

Selanjutnya ema Lastri mengambil wajan yang menempel di dinding dan menuangkan minyak ke atasnya.

Lihat selengkapnya