Setelah Aep pamit untuk menagih cicilan nasabah. Ema Lastri kembali duduk di meja makan seorang diri. Tertegun memikirkan kenyataan dan satu saran yang telah Aep katakan tadi.
Kenyataan bahwa usia Anjani kini tak lagi muda. Bahkan terhitung tua dan terlambat untuk melaksanakan pernikahan. Benarlah adanya. Di usianya yang sudah matang, dia seharusnya sudah hidup bahagia bersama suami dan anaknya. Bukannya malah bertengkar dengan Arka adik laki-lakinya, memperebutkan remote TV, sambil berteriak-teriak menciptakan kegaduhan di dalam rumah. Seperti yang ema Lastri saksikan saat itu. Ditambah lagi dengan kantong mata hitam di bawah kedua matanya. Sungguh pemandangan memilukan dan mengiris hatinya.
Ema Lastri sempat berdecak dan geleng-geleng kepala melihat kelakuan dua anaknya itu. Tapi tidak bertindak, dia justru kembali termenung berkutat dengan pemikirannya sendiri. Ihwal kenyataan pahit itu. Dan satu saran yang dikatakan Aep juga patut di coba. Melihat sikap Anjani yang anteng-anteng saja, ihwal jodoh yang belum juga datang.
Entah itu karena pada dasarnya Anjani memang santai dalam menanggapi nasib, atau mungkin apa yang dikatakan Aep ternyata benar. Jikalau hati Anjani telah ditutup oleh seseorang, sehingga dia tidak peka dalam hal jodoh. Seakan-akan dilupakan dan diabaikan olehnya.
Pagi itu, ema Lastri bersikap lebih tenang melihat kedua anaknya yang berisik. Dia hanya mangut-mangut melihat kelakuan aneh anak gadisnya itu. Padahal biasanya dia kerap kali murka. Meledak-ledak mengeluarkan berjuta kata yang sanggup mengalahkan rentetan petasan di kawinan ala betawi.
Saat itu, kedua matanya terlihat menatap intens pada keduanya. Seolah dua manusia yang ada di hadapannya itu tak kasat mata. Antara ada dan tiada. Ema Lastri sama sekali tidak terusik dengan kegaduhan yang terjadi. Saking seriusnya berpikir. Sambil menopang dagu di meja makan dengan dahi berkerut menciptakan lubang-lubang dalam diatas kedua alisnya.
Ema Lastri terus saja bergumam dengan hatinya sendiri. Mengulang setiap kata-kata yang Aep lontarkan padanya. Saran yang dia ungkapkan. Sungguh sangat masuk akal dan rasanya tidak ada yang salah.
Ema Lastri justru menyalahkan dirinya sendiri tengah mengabaikan anak gadis tersayangnya. Padahal perihal jodoh itu sangatlah penting. Tak bisa disepelekan. Ema Lastri bertanya-tanya. Apakah selama ini, dirinyalah yang secara tidak sadar telah abai. Hanya karena Anjani adalah anak kandungnya. Dia tidak bertanya serius ihwal jodoh dan pernikahan, karena percaya dan tidak mau Anjani merasa tidak nyaman. Takut akan melukai dan menyakiti hatinya. Padahal bersikap abai dan acuh seperti itu juga tidak bisa dibenarkan. Orang-orang selama ini pasti bertanya-tanya, mengapa orang tuanya sampai hati tidak memedulikan anak gadisnya yang belum mendapatkan jodoh.
“Huuuft,” ema Lastri menghela nafas panjang pertanda begitu rumit perkara yang sedang dipikirkannya.
Penyesalan kini menyeruak dalam hati ema Lastri. Dan saat itulah pergulatan batin di hatinya bertarung. Satu sisi hatinya bersemangat menguntai kata untuk bertanya pada anak gadisnya. Sedangkan satu sisi hatinya yang lain justru malah menciut. Sebagai ibu kandung Anjani, ema Lastri tahu betul peringai anaknya itu. Anjani pasti tidak suka jika diojok-ojok dalam perkara satu ini. Anjani acap kali mengatakan bahwa dirinya adalah wanita modern dan independen. Tidak perlu terburu-buru memikirkan pernikahan. Karena ihwal jodoh Anjani percaya akan indah pada waktunya. Tidak perlu terlalu mencemaskannya. Hanya orang yang berpikiran kolot yang mengharuskan wanita menikah diusia muda.
Ema Lastri menyunggingkan bibir sambil bergumam pelan. “Dulu kata-kata itu bisa diterima, karena dia masih muda. Heh. (Ema Lastri mendengkus) Sekarang kata-kata itu sudah tak berlaku lagi, karena dia sudah tua. Perkara ini tidak bisa didiamkan saja. Sebagai ema-Nya harus segera bertindak. Kalau nunggu anak itu. Entah sampai kapan. Yang terjadi bukan indah pada waktunya. Tapi akan telat banget pada waktunya."
Ema Lastri mengepalkan tangan. Pertanda dia telah membulatkan tekad.
“Kalau tidak sekarang. Kapan lagi. Setiap detik yang terus berdetak sangat berharga sekarang. Semakin cepat, maka semakin baik pula bagi si Anjani,” ujar ema Lastri mangut-mangut dengan tatapan tajam.
Keyakinannya kini telah ada di level paling tinggi. Dengan percaya diri, Ema Lastri beranjak dari kursi yang terasa panas. Saking lamanya ditemplokin bokongnya sedari tadi. Dengan derap langkah tegas ema Lastri berjalan mendekati Anjani.
“Anjani ikut ema sebentar. Ada yang mau ema tanyakan sama kamu,” ujar ema Lastri sambil menarik tangan Anjani, yang tersentak, kaget. Karena sedang asik menonton acara kesukaannya.
Sebenarnya Anjani sedikit kesal. Tapi tetap mengikuti langkah ema-Nya ke dalam kamar. Sementara Arka menyikut udara tanda bahagia. Karena bisa memindahkan Channel TV ke acara yang disukainya.
Ema Lastri menutup pintu kamar Anjani, supaya percakapannya tidak terdengar oleh Arka. “Sini ema mau tanya sesuatu sama kamu,” Ema Lastri menarik Anjani untuk duduk di tempat tidur.
“Kenapa ma. Serius banget. Anjani jadi takut," Dahi Anjani berkernyit.
“Ema mau tanya. Sebenarnya kamu sekarang sudah punya pacar atau belum?” ema Lastri bertanya tiba-tiba.
Anjani terbelalak, sedikit terkejut mendengar pertanyaan ema-Nya barusan. Untuk beberapa saat, Anjani terdiam hanya menggulirkan bola mata. Tanda seseorang sedang berpikir keras mencari jawaban yang tepat.
“Yang dekat sih ada,” ujar Anjani pelan.
Anjani langsung mengerti kemana arah pembicaraan ema-Nya itu. Hal yang memang sudah sewajarnya di khawatirkan seorang ibu. Mana ada sih di dunia ini seorang ibu santai-santai saja melihat anak gadisnya, yang sudah cukup umur belum juga menikah. Anjani sangat memaklumi kegelisahan yang ema-Nya rasakan.
Tapi bagi Anjani sendiri, ihwal jodoh tak bisa dianggap mudah. Bukannya dia tidak berusaha mencari. Hanya saja setiap kali menjalin hubungan percintaan dengan seorang pria. Selalu berujung dengan patah hati. Si pria selalu saja menjawab belum siap memikirkan pernikahan. Lantas pergi meninggalkan Anjani tanpa alasan. Begitu dia mempertanyakan kejelasan, sebenarnya mau dibawa kemana hubungan diantara mereka.
Kegagalan demi kegagalan itu menumbuhkan sedikit trauma di hati Anjani untuk menjalin hubungan lagi. Takut berharap besar dan merana lagi. Terakhir kali dia patah hati, membuat dirinya hampir kehilangan akal sehat. Tak ada semangat dan gairah hidup. Hanya saja Anjani selalu menutupi masalah percintaan dari ema-Nya. Karena tak ingin membebani ema-Nya yang kini sudah berumur lebih dari setengah abad itu.