Satu minggu berlalu dengan cepat. Laiknya aliran air sungai yang deras, lantas terjun bebas di tebing yang terjal. Menerobos celah dan meliuk melewati bebatuan. Fokus pada apa yang menjadi tujuan. Tanpa ada yang bisa menghadang. Mengalir dari ketinggian menuju dataran terendah di muka bumi ini.
Seperti itulah waktu melaju, tak ada yang bisa mengendalikan ataupun menghentikannya. Kata orang, waktu kian berubah dari zaman ke zaman.
Dulu, waktu melaju lambat seperti tumbuhan rambat dan lebih bersahabat. Detik terkesan malas untuk berdetak. Sejam rasa sehari. Seminggu rasa sebulan. Mentari merayap santai dan lembayung jingga, acap kali bermain-main terlebih dahulu sebelum tenggelam.
Jauh berbeda dengan waktu di zaman canggih dan modern seperti saat ini. Waktu terkesan berlari kencang seolah ingin mendahului geliat manusia yang bergerak semakin aktif. Setahun rasa sebulan. Sehari rasa sejam. Bahkan saking sibuknya, manusia kerap kali mengatakan 24 jam yang diberikan Tuhan masih kurang, hanya untuk menyelesaikan segenap tugas-tugas mereka.
“Hah, sudah pagi lagi. Padahal baru saja tidur sebentar.”
Ungkapan itu sekarang sering terdengar. Rembulan seolah berputar lebih cepat dikejar sang penguasa siang. Padahal pada kenyataannya waktu adalah hal yang paling konsisten di dunia ini. Tidak pernah berubah dari zaman kenabian hingga makhluk akhir zaman seperti kita ini. Waktu selalu teguh pada detaknya.
Manusialah yang telah banyak berubah. Lantas dengan seenaknya menyalahkan waktu begitu saja. Tanpa mereka sadari teknologi yang mereka ciptakan-lah, yang berhasil membuai manusia dan melupakan waktu. Hanya dengan menatap layar kaca datar berwarna-warni berjam-jam lamanya.
Sama halnya dengan yang Anjani jalani sekarang. Seminggu berlalu begitu saja, dihabiskan hanya berkutat dengan rutinitas pekerjaan di kantor. Yang itu itu saja. Waktu terasa seperti hembusan angin yang menerpa wajah, di tengah Anjani mengendarai motor kesayangannya sore itu. Terasa nyata, tapi tak bisa disentuh untuk menghentikannya.
Sabtu sore, Anjani dengan santai mematikan mesin dan menurunkan standar motor di pekarangan rumah. Lantas berjalan sambil bersenandung ringan seolah tak ada masalah dihidupnya. Hingga pada saat dia membuka pintu rumah. Matanya tiba-tiba membulat sempurna melihat tiga orang yang duduk di ruang tamu. Serentak menatapnya.
Dari suasana yang Anjani lihat. Tampaknya tiga orang ini sudah menunggunya cukup lama. Karena terlihat jelas gurat kekesalan di wajah ema Lastri dan mang Aep. Hanya Arka yang menunjukkan raut wajah biasa-biasa saja.
“Assalamualaikum,” ujar Anjani pelan dan tersenyum pada pamannya.
“Waalaikum salam,” sahut mang Aep yang duduk paling dekat dengan pintu.
“Kamu kemana saja Anjani. Jam segini baru pulang?” tanya ema Lastri sambil beranjak dari duduknya dan mendekati Anjani.
“Anjani dari kantor atuh Ma,” sahut Anjani dengan dahi mengerut.
“Ema tahu jadwal kerja kamu. Kalau hari Sabtu kamu kan biasanya pulang jam 12. Kenapa sekarang jam 5 baru pulang?” tanya ema Lastri bernada curiga pada anaknya sendiri.
“Ada pekerjaan yang belum selesai. Jadi Anjani selesaikan hari ini. Supaya Senin nggak gedebak gedebuk kerjanya,” sahut Anjani kesal. Menyadari dirinya dicurigai.
“Bukan karena kamu mau menghindarkan?” tanya ema Lastri.
“Benar Ma Astagfirullah. Memangnya Anjani menghindar dari apa?” Anjani balik bertanya.
“Kita kan mau ke abah Sukri. Kamu lupa.”
Anjani mematung di ambang pintu. Tak percaya dengan apa yang dia dengar barusan. Saking sibuknya aktivitas di kantor seminggu ini. Dia benar-benar melupakan hal itu. Seandainya saja Anjani ingat, kalau hari ini adalah hari dimana dia akan pergi kesana. Anjani bahkan akan pura-pura mencari alasan dan menginap di rumah teman.
“Malah bengong. Cepat kamu mandi dan ganti baju. Habis magrib kita pergi,” perintah ema Lastri.
“Atuhlah Ma. Anjani masih cape ini," Anjani beralasan supaya emanya mengurungkan niat untuk pergi kesana.
Anjani benar-benar tak menyangka kalau emanya itu tidak main-main dengan yang dia ucapkan seminggu lalu. Ternyata eh ternyata niatnya itu benar-benar serius.
“Cuma sebentar kok Anjani. Lagian besok kamu juga libur kan. Besok kamu bisa istirahat seharian,” ujar Aep di tengah pertengkaran antara ema dan anaknya.
Anjani menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, sambil tersenyum dipaksakan. Sebenarnya Anjani ingin sekali menolak mentah-mentah, tapi tidak enak pada mang Aep yang sudah menunggunya sedari tadi.
“Tapi mang.”
Ema Lastri memukul pundak Anjani. Hingga tubuhnya gontai.
“Eh suka ngeyel. Cepat sana mandi,” ujar ema Lastri sambil mendorong pundak anaknya masuk ke dalam kamar.
Setelah pintu tertutup, Anjani memukul-mukul udara melampiaskan amarah yang sudah membuncah di ubun-ubun kepalanya. Dengan kasar Anjani mengambil handuk yang menggantung di pintu kamar. Lantas masuk ke kamar mandi sambil manyun kaya bebek.
****
Setelah mandi, shalat dan mengenakan jaket merah kesayangannya. Anjani keluar dari kamar dan duduk di ruang tamu, menunggu paman dan emanya shalat Magrib.
“Sudah siap teh,” tanya Arka.
“Kamu mau ikut?” Anjani balik bertanya. Dahi Anjani mengerut tak percaya, kalau adik bandelnya itu mau ikut ke tempat seperti itu.
Arka mengangguk pelan, lalu sibuk kembali dengan Hp-Nya.
“Tumben. Kenapa mau ikut?”
“Pengen ikut saja. Bosan dirumah sendirian. Hitung-hitung jalan-jalan naik mobil.
“Ih. Aneh.”
“Biarin,” Arka menjulurkan lidah seperti kadal pada Anjani.
Anjani menggelengkan kepala. Lantas berdiam diri menahan rasa kesal pada emanya. Kedua pundaknya terlihat turun. Pertanda betapa berat dia menjalankan niat emanya, untuk pergi ke tempat yang menurut Anjani sangatlah tidak masuk akal. Rasa-rasanya ingin menghilang atau masuk ke dalam tanah seperti cacing untuk menghindari ini semua. Tapi apalah daya, Anjani sangat paham betul watak emanya sendiri. Dengan sifat keras kepalanya itu, dia akan terus memaksa dengan berbagai cara. Sampai niatnya itu benar-benar terwujud.
Ditambah lagi dengan kedatangan Aep membuat Anjani tidak enak. Jika dia harus melihat pertengkaran dan cek cok mulut antara dirinya dan emanya itu.
Coba saja bapak masih ada. Hal seperti ini pasti akan dilarang olehnya. Mengingat bapak adalah orang yang punya sifat pasrah atas kehendak Tuhan. Tak percaya pada hal-hal semacam ini. Tapi sayang, sejak kepergian bapak dua tahun saat menjalankan tugas. Membuat emanya kini hidup berdasarkan intuisinya sendiri. Yang terkadang apa yang dia yakini dan putuskan itu terasa janggal. Mungkin selain karena ema itu tidak berpendidikan tinggi. Dia juga sangat mudah terhasut dan terpengaruh orang lain. Apalagi setelah kepergian bapak. Sifatnya itu semakin menjadi jadi, karena tidak ada orang yang bisa memberi arahan dan nasihat padanya.
Setelah menunggu beberapa saat. Aep meminta kunci mobil pada Arka untuk memanaskannya terlebih dahulu. Lantas setelah emanya selesai shalat. Anjani, Arka dan emanya itu langsung naik mobil tua milik almarhum bapak.
Sebenarnya Arka ingin sekali mencoba mengendarainya. Tapi ema selalu melarang. Kata ema, Arka tidak boleh mengendarainya. Selain karena Arka belum punya SIM. Dia juga masih belum terlalu lancar. Ema takut terjadi sesuatu yang buruk atau ditangkap sama polisi.
Hari ini Aep-lah yang menjadi supir di dampingi oleh ema Lastri. Sementara Anjani duduk di belakang bersama Arka. Di tengah perjalanan. Arka tiba-tiba mengesot mendekati Anjani, lantas berbisik pelan.
“Teh, kata ema. Teteh di guna-guna?,” tanya Arka tiba-tiba.
Anjani bergeming untuk sesaat, memandang Arka tidak percaya.
“Teh benar atau nggak?” tanya Arka lagi.
“Mana teteh tahu.”
“Kata ema gitu tadi.”
“Ema cuma curiga kalau teteh di guna-guna.”
“Memang teteh merasa ada yang sakit?”
“Nggak,” ujar Anjani singkat.
“Terus kenapa kalau teteh nggak sakit. Dibawa ke tempat orang pintar?” tanya Arka semakin penasaran.
Anjani menghela nafas berat. Sebelum berucap. “Karena teteh belum menikah. Paham,” ujar Anjani seraya menggulirkan mata keluar jendela.
Peeeet....peeeettttt Terdengar Arka menahan tawa. Anjani kembali mengalihkan pandangan ke arah Arka.
“Kenapa ketawa?”
“Itu......mah. Buahahahhahah.” Tawa Arka meledak di dalam mobil mendengar penjelasan Anjani barusan. Spontan ema Lastri memutar badan ke belakang.