Sukma Raga

Yeni fitriyani
Chapter #4

Syarat Ritual

“Hem"

Abah Sukri mangut-mangut menatap telapak tangan Anjani. Seolah sedang melihat kelebatan masa depan gadis yang duduk tak nyaman di hadapannya. Anggukan demi anggukan begitu meyakinkan, seolah dia paham dan tahu bagaimana cara mengurai permasalahan yang sedang dihadapi Anjani saat itu. Terkadang disela-sela abah Sukri mengamati telapak tangan. Dia juga menyelidik setiap jengkal wajah Anjani. Kedua alis pria senja itu bahkan sampai menyatu dengan kening mengerut dalam.

“Gimana bah?” tanya mang Aep.

“Sebentar kurang jelas,” sahut abah Sukri seraya melepaskan tangan Anjani.

Lantas memutar tubuhnya ke belakang, mengambil sebuah kotak hitam dari dalam lemari. Kotak itu berisi sebuah bola berbentuk oval menyerupai telur ayam, bening seperti kelereng, dan di dalamnya terdapat benda kecil berkerlap kerlip seperti bintang. Entah apa itu namanya. Yang Anjani tahu, benda itu sering muncul di film para penyihir. Batu bening bercahaya sebesar buah kelapa dan mempunyai kekuatan menerawang waktu. Nah sama persis seperti itu. Yang membedakan kepunyaan abah Sukri terlihat lebih mini. 

 “Kurang jelas Aep kalau dengan mata telanjang. Abah sampai harus pakai batu Braja untuk menerawangnya,” ujar abah Sukri pada Aep dengan tatapan penuh makna, tapi tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Lalu dibalas oleh Aep dengan anggukan dan tatapan yang sama misteriusnya.

Anjani yang dengan jelas melihat keduanya bersitatap. Tiba-tiba merasakan sesuatu energi aneh, yang membuat hatinya semakin tak karuan.

“Tunggu sebentar ya neng geulis. Abah pinjam lagi tangannya,” pinta abah Sukri pada Anjani. Yang mengangguk cepat seraya menyodorkan telapak tangannya.

Abah Sukri mulai menggelindingkan batu itu di telapak tangan Anjani. Beberapa kali. Lantas diterawangnya batu itu di bawah cahaya lampu temaram rumah itu. 

“Heh.”

Abah Sukri menghela nafas berat. Laiknya seorang dokter yang dengan berat menyampaikan penyakit atau permasalahan yang sedang di hadapi pasiennya. Gurat kekhawatiran begitu kentara di sorot matanya. Aep dan ema Lastri mengingsut mendekat pada abah Sukri untuk mendengarkan rinciannya. 

“Jadi gini neng Lastri. Neng Anjani itu tidak ada yang mengguna-guna. Bersih dari hal-hal ghoib kiriman orang. Ihwal sampai sekarang neng Anjani belum juga mendapatkan jodoh. Itu dikarenakan aura neng Anjani tidak memancar dengan semestinya. Abah bahkan sampai harus menggunakan batu Braja ini untuk melihat aura neng Anjani. 

Aura neng Anjani terhalang satu energi, yang menyerupai kabut tipis berwarna putih. Kabut tipis itu membuat orang-orang, terutama para pria hanya senang saja berada di dekat Anjani. Tapi tidak akan ada niatan untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Karena kabut itu menyebabkan daya tarik neng Anjani lemah dan tidak kuat,” tutur abah Sukri.

“Seperti itu rupanya. Lantas apakah kabut itu bisa dihilangkan dan aura Anjani bisa bercahaya lagi bah?” tanya Aep.

“Kita bisa menghilangkan kabut tipis itu, dengan melakukan ritual khusus. Musabab ini bukan hal biasa. Hanya ada dua kemungkinan kabut putih itu bisa muncul pada diri seseorang, tanpa ada orang yang mengguna-guna. Pertama bawaan dari orok. Saat dia masih menjadi jabang bayi sudah terselimuti kabut itu. Atau, jika kabut itu baru muncul pada orang dewasa. Biasanya karena dia kurang memperhatikan diri. Misalnya sering berbicara kasar atau melakukan yang dilarang. Seperti kencing sembarangan di tempat keramat atau angker,” penjelasan abah Sukri.

Ema Lastri mengangguk. Lantas melirik Anjani sambil mengangkat satu sudut bibirnya. Jelas sekali arti tatapan ema Lastri. Dia pasti sedang menghubung-hubungkan perkataan abah Sukri dengan kebiasaan Anjani, yang kurang bisa merawat diri. Mandi sekali sehari, keramas kalau rambut sudah lepek dan bau, tidak pernah dandan dan kerap kali bangun terlalu siang, jika sedang libur kerja. 

Anjani membulatkan mata sambil memonyongkan bibir ditatap jijik oleh emanya seperti itu. Seakan-akan dirinya itu berlumuran dosa dan aib yang tak bisa dimaafkan. Anjani kemudian menggulirkan bola mata ke luar jendela. Selain untuk menghindari tatapan penuh intimidasi emanya. Anjani juga tak mau perang dingin diantara mereka sampai pecah disini. Sementara Arka terus menahan tawa, mengerti betul arti dan maksud tatapan ema pada kakak perempuannya itu.

“Lantas bagaimana dengan Anjani bah. Apa Anjani pernah melakukan kesalahan?” tanya ema Lastri

“Kalau neng Anjani. Ini bawaan dari orok,” tutur abah Sukri.

Anjani tersenyum lega mendengar pernyataan abah Sukri barusan. Yang otomatis mematahkan praduga yang dipikirkan emanya tadi. Kalau kabut putih itu berasal dari kebiasaan jeleknya.

Lihat selengkapnya