Sukma Raga

Yeni fitriyani
Chapter #5

Makhluk Usil

Anjani memarkirkan motor, dan masuk kedalam sebuah mini market untuk membeli minuman dingin, guna melepas dahaga dan kebimbangan yang melanda hatinya. Anjani duduk di kursi yang disediakan mini market. Lantas meneguk air dingin dengan cepat hingga menyisakan setengah botol lagi. Setelahnya Anjani meringis menahan sensasi dingin yang menyergap kepalanya.

Anjani menghela nafas berat. Seberat langkahnya untuk pulang ke rumah. Musabab ema dan mang Aep tengah menunggu kepulangannya sedari tadi. Anjani sengaja mengulur-ngulur waktu, menunggu barang kali saja ada keajaiban yang turun dari langit. Karena hari ini adalah hari dimana mereka akan pergi ke abah Sukri, sesuai jadwal yang sudah di tentukan minggu lalu. Anjani berharap pada langit jingga, supaya emanya itu mengurungkan niat untuk pergi ke tempat yang hanya membayangkannya saja, sudah membuat bulu kuduk berdiri sempurna. Terlebih di tengah malam nanti, dia harus mandi kembang di sumur tepat di bawah kaki gunung Burangrang. 

Anjani bergidik dan menyender pada kursi, membayangkan kengerian yang akan dihadapinya itu. Lantas terperanjat melihat layar Hp berkedap kedip di atas meja, pertanda seseorang menghubunginya. Anjani mencondongkan tubuhnya ke depan untuk melihat nama orang yang meneleponnya itu. 

"EMA BAWEL."

 Anjani menghembuskan udara hangat dari mulut dan bergumam pelan.

“Ya Allah selamatkan hamba dari ema-ema rempong ini. Ya Allah hamba mohon.”

Anjani menyatukan tangan di depan dada, kemudian mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahnya. Berdoa pada Tuhan sang maha pencipta. Berharap emanya itu menelepon untuk mengabarkan hal baik padanya. Meski Anjani tahu bahwa harapan itu begitu tipis. Setipis kulit ari pada buah salak. 

Dengan berat hati, Anjani menggeser bulatan hijau di layar HP-nya ke kanan untuk menerima panggilan tersebut.

“Iya Ma,” ujarnya malas.

“Kamu dimana Anjani?” tanya ema Lastri dengan suara cemprengnya.

“Masih di jalan.”

“Di jalan kok bisa ngangkat telepon ema?" tanya ema Lastri lagi-lagi dengan nada penuh curiga di ujung telepon sana. 

“Lagi ngisi bensin dulu Ma,” jawab Anjani kesal.

“Ya sudah cepat pulang. Mang Aep sudah nunggu dari tadi,” ujar ema Lastri sama kesalnya dengan Anjani.

“Iya Ma. Astagfirullahalazim,” teriak Anjani, lantas memutus sambungan telepon. Saking kesalnya.

 Heeeh Anjani membanting keras botol ke meja. Dan tanpa sadar suara bantingannya itu mengusik ketenangan akang-akang kasir di dalam mini market, dan melirik keheranan pada Anjani.

Anjani yang kesal tak memedulikan tatapannya. Dia justru meneguk sisa air dalam botol hingga tetes terakhir, dan melemparkan botol itu ke dalam tong sampah. Seperti pemain basket profesional yang memasukkan bola ke dalam ring. Sayang lemparannya itu meleset jauh, membuat si akang geleng-geleng kepala dan menggerutu. Tanpa sepengetahuan Anjani yang menancap gas motornya seperti orang kebelet buang hajat.

Sesampainya di pekarangan rumah. Anjani bergumam pada diri sendiri untuk menguatkan hatinya.

“Baiklah. Demi jadi anak sholeh dan untuk menghindari kutukan dari ema. Anjani siap menghadapi apapun yang terjadi. Bismillah,” Anjani menyikut udara menyemangati dirinya sendiri.

“Assalamualaikum,” ujar Anjani lemah.

“Waalaikum salam,” sahut mang Aep.

“Ema mana mang?" tanya Anjani.

“Tuh. Sedang menyiapkan peralatan yang akan di bawa di kamar kamu,” mang Aep menunjuk kamar dengan dagunya.

“Oh ya sudah. Anjani siap-siap dulu ya mang.”

“Iya.”

Anjani mengetuk pintu sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri.

“Ma. Kita jadi pergi?" Pertanyaan Anjani itu sebenarnya sebuah kiasan. Berharap emanya paham kalau dirinya itu enggan pergi ke sana.

“Jadi atuh. Masa nggak jadi.”

“Kali saja turun keajaiban. Ada tetangga yang mau ngejodohin anaknya ke Jani. Terus kita nggak jadi pergi ke sana,” cerocos Anjani

“Kalau ada ema mau sujud syukur. Ngapain beres-beres gini. Dasar budak teh,” Ema Lastri geleng-geleng kepala sambil memasukkan baju Anjani ke dalam tas. 

“Cepat siap-siap Jani. Jangan banyak alasan,” lanjut ema Lastri.

“Anjani ganti baju saja kan?” tanya Anjani lempeng.

“Mandi atuh Jani. Masa kamu nggak mandi. Memang kamu nggak gerah pulang kerja gitu?” tanya ema Lastri dengan tatapan tak percaya. Sampai-sampai menghentikan aktivitasnya.

“Biasa saja Jani mah. Bukannya nanti juga mandi disana,” sahut Anjani santai. 

Ema Lastri mengambil handuk, lantas memukulkannya pada punggung Anjani.

“Mandi gadis jorok!" bentak ema Lastri.

“Iya. Iya. Sabar,” Anjani melengos masuk kamar mandi. 

Di tengah aktivitas menggosok gigi. Anjani tak henti-hentinya menggerutu. Kesal pada langit yang tidak menurunkan keajaiban untuknya. Dan pada emanya yang sudah kehilangan kewarasan, hingga tak bisa menilai mana yang masuk akal dan takhayul semata.

“Dasar ema-ema kolot. Bisa-bisanya percaya sama hal kaya gitu. Duh kalau teman-teman sampai tahu. Habis diriku ini pasti di bully,” ujar Anjani sambil menambah kecepatan gosokannya pada gigi geraham miliknya.

Setelah selesai mandi, berganti baju dan makan. Ketiganya masuk ke dalam mobil berwarna merah marun. 

“Arka nggak ikut Ma?” tanya Anjani.

“Anak penakut gitu. Mana mau ikut,” sahut ema Lastri.

“Lagian ikut juga malah berisik dan bikin panik orang,” lanjut ema Lastri.

“Terus bocah cemen itu kemana sekarang?” tanya Anjani lagi.

“Menginap di rumah Ahmad.”

“Oh.”

Angguk Anjani. Sementara mang Aep tertawa mengingat kejadian minggu lalu. Dirinya sampai harus mengejar Arka yang mengibrit ketakutan. 

****

Jam 9 malam, mobil parkir di depan rumah bercat merah jambu dengan polet putih di setiap lis kayu pada jendela dan pintunya. Warna khas yang acap kali dipilih oleh para warga desa.

Sama seperti halnya minggu lalu. Ketiganya kembali melewati rumah warga, persawahan, terowongan pohon bambu dan pemakaman kecil. Sebelum akhirnya, mereka sampai di pekarangan rumah abah Sukri.

“Assalamualaikum,” ujar mang Aep seraya mengetuk pintu kaya berwarna coklat tua. 

“Waalaikum salam,” sahut abah Sukri yang kali ini membuka pintu. Sebab ema Dasimah sedang menginap di rumah anaknya di daerah Lembang.

“Mangga masuk.”

“Iya bah.”

Ketiganya duduk berjajar menghadap abah Sukri. Dengan urutan sama persis seperti minggu kemarin. Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda disana. Sebuah kotak hitam di bungkus kain putih tergeletak di atas tikar. Yang mencuri segenap perhatian ketiganya.

“Apa ini bah?” tanya mang Aep.

“Kotak ini berisi benda-benda yang akan digunakan neng Anjani. Air dari tujuh mata air, bunga tujuh rupa dan kain samping, yang sudah abah doakan sebelumnya,” tutur abah Sukri.

“Oh gitu. Lantas kapan kita pergi kesana bah?" tanya mang Aep lagi.

Lihat selengkapnya