Anjani dan Ema Lastri keluar dari aliran air sungai. Keduanya meniti berbatuan dengan hati-hati dibantu oleh mang Aep di tepian. Rombongan kembali melangkah menuju satu pondok panggung dengan dinding dari anyaman rotan. Pondok memiliki satu ruang tertutup dengan satu jendela dan satu ruang terbuka dengan dinding setinggi pinggang orang dewasa.
Anjani dan Ema Lastri berjalan lebih cepat karena sudah terlalu lelah. Ingin segera sampai di pondok untuk beristirahat. Begitu keduanya tiba di pondok Anjani langsung menjatuhkan badan, terlentang menatap langit-langit pondok dengan kaki yang masih bergantung ke tanah.
“Cape. Astagfirullah,” ujar Anjani dengan dada naik turun. Nafasnya memburu menahan lelah dan takut bersamaan.
Mang Aep langsung mengeluarkan termos dan menuangkan air hangat ke dalam cangkir untuk menghangatkan tubuh rombongan. Sementara abah Sukri langsung masuk ke dalam pondok tertutup. Sepertinya ada ritual yang dilakukan bah Sukri terlebih dahulu.
Setelah lelah yang mendera menghilang. Ema Lastri menepuk pundak Anjani untuk naik ke pondok. Dengan gerakan super malas Anjani membuka sepatu, lantas mengesot dan menyandarkan punggung pada dinding kayu setinggi punggungnya.
“Minum dulu Jani,” mang Aep memberi segelas air hangat kepada Anjani dan kakak perempuannya itu.
Tubuh telah hangat. Keringat yang tadi mengucur deras terhenti, kini justru berganti dengan hawa dingin yang menyelusup tubuh. Anjani sesekali mengusap-usap dan meniup telapak tangan untuk menyalurkan hawa hangat.
Selang beberapa saat Abah Sukri akhirnya keluar dari pondok tertutup. Lantas duduk tepat di antara Anjani dan Ema Lastri.
“Bagaimana masih cape?” tanya bah Sukri pada Anjani dan ema Lastri.
“Sudah nggak kok bah,” jawab ema Lastri.
“Syukur kalau begitu. Neng Anjani masih takut?” tanyanya lagi.
“Nggak bah,” jawab Anjani ragu.
“Baiklah. Sekarang neng Anjani berganti baju dan kenakan kain ini. Ritual penyucian akan kita mulai sebentar lagi,” ujar bah Sukri seraya menyodorkan kain samping dengan motif batik cantik.
“Sekarang ganti di dalam,” tunjuk bah Sukri ke dalam pondok tertutup itu.
“Baik bah,” sahut ema Lastri seraya memberi isyarat kepada Anjani untuk bangkit dan mengikutinya.
Dengan berat hati Anjani bangun untuk mengikuti perintah emanya itu. Mata Anjani menyelidik ruang tertutup itu. Sebuah lilin kecil sudah dinyalakan oleh bah Sukri tadi. Cahaya berwarna kuning temaram membuat bulu kuduk berdiri. Di dalam terasa sangat pengap dan menyeramkan. Wangi dupa juga menyeruak di seluruh ruang kecil itu.
“Cepat ganti,” ujar ema Lastri.
Anjani mengangguk dan dengan gerakan super cepat berganti baju dan membalut tubuhnya dengan samping batik.
“Malu ih ma,” ujar Anjani seraya menutupi dadanya.
“Nggak apa-apa. Ada ema kan di dekat kamu,” sahut ema Lastri.
Anjani menghela nafas berat. Lantas keluar dari pondok.
“Neng duduk sini depan abah,” pinta bah Sukri.
Anjani menatap ema Lastri terlebih dahulu. Baru melangkah setelah ada isyarat anggukan dari ibunya itu.
Anjani duduk bersedekap seperti seorang sinden sambil menutup dada dengan kedua telapak tangannya. Sementara bah Sukri membuka tutup botol kecil seukuran jempol orang dewasa yang berisi minyak berwarna merah darah. Begitu tutupnya dibuka. Aroma unik dan menyengat langsung menyengat hidung Anjani. Aroma khas yang belum pernah di ciumnya selama ini.
“Maaf ya neng abah olehkan minyaknya,” ujar bah Sukri.