“Bangun Anjani. Bangun nak,” parau suara ema Lastri, menahan perasaan cemas dan takut yang berkecamuk dalam hatinya.
“Anjani sadar. Abah, Anjani kenapa ini bah?" tanya ema Lastri pada abah Sukri, yang sibuk mengusap wajah Anjani dengan telapak tangan, sambil membacakan doa-doa. Dahi pria berusia senja itu berkerut menciptakan lubang-lubang dalam. Menunjukkan betapa seriusnya ia menangani situasi genting ini.
Mang Aep juga ikut membantu. Setelah mendengar teriakkan ema Lastri yang menggema di udara puncak gunung. Mang Aep langsung berlari dan mendapati kakak kandungnya itu bersimpuh di samping Anjani. Mang Aep memijat dan menggosok telapak kaki Anjani yang dingin. Sesekali dia juga memencet ruas kuku jempol kaki keponakannya yang tak sadarkan diri. Konon pijatan keras di jempol kaki bisa menyadarkan seseorang dari pingsan, atau mengeluarkan roh yang masuk ke dalam badan seseorang. Namun usahanya itu belum juga membuahkan hasil. Anjani masih saja lekat menutup matanya.
“Anjani bangun,” teriak panik ema Lastri. Yang tak berhenti menepuk-nepuk wajah Anjani untuk menyadarkannya.
Keadaan malam itu tampak begitu menegangkan dan menakutkan. Semua orang terlihat begitu panik. Berpikir buruk, bagaimana jika terjadi sesuatu pada Anjani disini. Mengingat saat ini mereka sedang berada di atas puncak gunung yang jauh dari mana-mana. Mustahil membawa Anjani ke rumah sakit dengan cepat.
Di tengah kepanikan dan ketakutan semua orang. Hati mereka tiba-tiba mencelos lega. Melihat kelopak mata Anjani yang terpejam, bergerak perlahan hingga terbuka seutuhnya. Hanya saja ada yang aneh, tatapannya saat itu terlihat begitu hampa dan kosong. Seakan raga Anjani telah di tinggalkan rohnya.
Ema Lastri sebenarnya menyadari akan hal itu. Tapi dia tetap bersyukur melihat anaknya sudah membuka mata. Spontan ema Lastri menarik tubuh Anjani ke dalam dekapannya.
“Alhamdulillah gusti,” ujar ema Lastri dibarengi dengan ledakan tangis rasa leganya.
“Sebentar neng Lastri,” ujar abah Sukri, menyadari ada yang salah dengan tatapan Anjani barusan. Abah Sukri menepuk pundak ema Lastri untuk segera melepaskan pelukannya itu.
Ema Lastri tak terkejut dan mengikuti saja perintah abah Sukri. Sebab dirinyapun menyadari itu. Ema Lastri segera melepaskan pelukannya, dan dengan sigap memposisikan tubuh Anjani duduk bersender pada tubuhnya. Ema Lastri tidak banyak bertanya pada abah Sukri. Sebab dirinya tahu ada kejanggalan pada tatapan anaknya itu. Anjani bergeming, tak ada respon yang berarti.
Abah Sukri mengambil segelas air putih, membacakan doa terlebih dahulu, lantas mengusapkan air putih itu ke seluruh wajah Anjani beberapa kali. Sampai pada akhirnya kedua mata Anjani mengerjap. Pertanda bahwa sukmanya kini telah kembali ke dalam raganya. Terlihat jelas dari perbedaan di kedua sorot matanya. Cahaya kehidupan yang tadi terlihat meredup, kini kembali berpijar dimatanya.
“Ada apa Ma?" tanya Anjani seraya menatap satu per satu, tiga orang yang terlihat begitu cemas, sekaligus lega memandanginya.
“Kamu tidak apa-apa Jani?” ema Lastri balik bertanya.
Anjani tidak menjawab. Dahinya berkernyit melihat keadaan tidak nyaman itu. Anjani tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Seingatnya tadi, dia masih berdiri dan berendam di air kolam yang dingin. Merasakan dirinya seakan menyatu dengan alam. Lantas apa yang terjadi setelahnya. Mengapa sekarang dirinya terbaring lemas di pinggiran kolam. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dalam benaknya.
“Sebenarnya ada apa Ma?” tanya Anjani heran.
“Kamu tadi tiba-tiba menenggelamkan diri ke dasar kolam. Lalu tak sadarkan diri,” tutur ema Lastri.
Dahi Anjani semakin berkernyit mendengar penjelasan emanya. Dia benar-benar tidak mengingatnya sama sekali.
“Anjani tidak ingat Ma,” sahut Anjani sambil memegang kepalanya.
“Kamu pusing?” tanya ema Lastri cemas.
Hem. Anjani mengangguk.
“Kasih minum dulu Anjani dengan air hangat ini teh,” ujar mang Aep, yang tadi langsung berlari masuk ke dalam gubuk, mengambil air hangat. Begitu tahu Anjani siuman.
Ema Lastri menerima gelas yang disodorkan mang Aep. Lantas meminumkannya pada Anjani. “Minum dulu Jani,” ujar ema Lastri.
“Iya.”
Anjani minum seteguk. Seketika air hangat itu menyelusup ke kerongkongan, bahkan terasa menyebar ke setiap sendi tubuhnya.
“Ya sudah bawa neng Anjani ke gubuk,” ujar abah Sukri.
Mang Aep dan ema Lastri mengangguk dan memapah tubuh Anjani masuk ke dalam gubuk. Di dalam gubuk ema Lastri segera mengganti kain samping basah yang membalut tubuh Anjani, dengan baju ganti dan jaket tebal. Supaya Anjani tidak kedinginan. Sementara di luar gubuk, abah Sukri dan mang Aep membuat perapian kecil untuk menghangatkan tubuh Anjani.
“Jani kuat berdiri? Kita keluar supaya tubuh kamu hangat,” tanya mang Aep.
“Iya mang. Anjani sudah baikkan kok. Sudah bisa berjalan kesana sendiri,” sahut Anjani santai.
Mang Aep dan ema Lastri saling tatap dan mengangguk. Tak bisa dipungkiri perasaan lega terlihat di sorot mata keduanya. Melihat rona wajah Anjani sudah tak sepucat tadi. Balutan baju hangat sepertinya telah mengembalikan metabolisme tubuhnya kembali.
Ema Lastri memapah tangan Anjani keluar gubuk untuk duduk di depan perapian. Kedua tangan Anjani mendekat pada jilatan api yang membara. Lalu di usapkan telapak tangan pada wajahnya sendiri.
“Hangat?" tanya ema Lastri.
“Iya Ma,” sahut Anjani seraya tersenyum.
“Syukurlah.”
“Oh iya Ma. Sebenarnya kenapa Anjani bisa pingsan. Padahal Anjani tidak pusing atau merasa gejala-gejala akan pingsan tadi. Anjani hanya memejamkan mata sambil memainkan air,” tanya Anjani pada emanya.
“Neng Anjani terlalu larut dan terbuai dengan energi alam. Satu sisi itu pertanda baik. Karena alam telah memberi energi positif pada neng Anjani. Itu yang akan membuka aura neng Anjani. Tapi buruknya, jika mental seseorang tidak kuat. Justru alam akan menarik energi dari tubuh neng Anjani. Pada akhirnya neng Anjani kehilangan tenaga dan jatuh pingsan. Atau lebih parah lagi,” sahut abah Sukri.
Semua orang terbelalak, setelah mendengar penjelasan abah Sukri barusan. Ema Lastri mengelus dada, merasa lega, karena kemungkinan kehilangan anaknya cukup besar tadi. Beruntung Anjani kembali membuka matanya.
Saat ketiga orang di hadapannya sedang mengobrol ihwal kejadian pingsan dirinya. Anjani tiba-tiba mengingat detik-detik sebelum dia memejamkan kedua matanya. Anjani ingat betul, ada satu energi hangat yang merengkuh tubuhnya. Seperti hawa hangat manusia yang menenangkan dan meneduhkan.
Anjani termenung sejenak, bertanya pada dirinya sendiri. Haruskah dia bicarakan perihal tersebut pada abah Sukri. Atau energi itu memang energi alam yang di jelaskan abah Sukri tadi.
Entah kenapa saat itu Anjani sangat ragu untuk bertanya, hingga pada akhirnya dia mengurungkan niat untuk bertanya. Anjani meyakini saja kalau abah Sukri pastilah tahu hal tersebut. Dan jika hal itu berbahaya, abah Sukri pasti akan bilang padanya.
Setelah tubuh semua orang hangat dan merasa lega. Mang Aep bertanya pada abah Sukri.
“Oh iya bah. Kita akan pulang atau menginap disini bah?” tanya mang Aep.
“Jika neng Anjani kuat. Kita bisa pulang sekarang. Tapi jika neng Anjani tidak kuat, sebaiknya kita menginap saja. Pagi-pagi kita baru turun ke bawah,” tutur abah Sukri seraya menatap mata Anjani. Menunggu jawaban darinya.
“Ehm. Saya sudah baikkan kok bah. Kita pulang saja,” sahut Anjani.
“Kamu yakin Anjani?”
Ema Lastri menggenggam tangan Anjani untuk memastikan keputusan anaknya itu. Ema Lastri khawatir jika Anjani akan jatuh pingsan lagi di jalan.
“Anjani yakin Ma. Anjani sudah kuat dan mau cepat pulang.” Anjani memberi anggukan kecil untuk meyakinkan emanya.
“Ya sudah kita pulang saja bah,” ucap ema Lastri.
****
Tepat pukul 7 pagi, Anjani dan ema Lastri sampai di rumah. Begitu ema Lastri membuka pintu depan. Dengan gerakan hampir berlari. Anjani masuk ke dalam kamar dan menghempaskan tubuh di kasur hangatnya. Anjani meringkuk dalam selimut dan terlelap seketika.
Anjani sengaja mengambil cuti kerja, karena dia bisa membayangkan bagaimana perjalanan naik gunung itu pasti memakan waktu yang lama dan menguras banyak tenaga. Dan benar saja, saat ini tubuhnya terasa remuk seakan tulang belulang dalam raganya itu, hancur berkeping-keping.
Anjani bangun sore harinya. Itupun setelah ema Lastri memukul pantatnya dengan bantal, karena sulit di bangunkan.
“Bangun Jani,” teriak ema Lastri.
Anjani menggeliat di atas kasur dan beranjak dari tempat tidur dengan kepala pening dan pegal-pegal di semua sendi-sendi tubuhnya.
“Ya Allah ampun,” rintih Anjani sambil masuk ke dalam kamar mandi.
Anjani gosok gigi sambil melihat bayangan dirinya di cermin. Niatnya hari ini tidak akan mandi. Hanya akan gosok gigi saja. Karena tubuhnya tak bisa lagi menerima terjangan air dingin. Bisa-bisa dia akan sakit flu setelahnya.
Saat sedang asik menggosok giginya dengan santai. Tubuh Anjani tiba-tiba terhenyak merasakan hembusan angin hangat di telinganya. Spontan Anjani menghentikan aktivitasnya. Tubuhnya mengeras seakan terkunci. Otaknya tak bisa memberikan perintah untuk menggerakkan anggota tubuhnya. Hanya kedua bola matanya sajalah yang bisa bergerak. Dan melotot nyaris keluar dari sarangnya. Anjani menelan ludah dalam-dalam dan memejamkan kedua mata untuk menguatkan diri.