Sukma Raga

Yeni fitriyani
Chapter #8

Mimpi

Keesokan harinya, tepat malam Jumat, pukul 9 malam. Anjani, ema Lastri dan mang Aep sudah berada di rumah abah Sukri untuk melakukan ritual terakhir pensucian Anjani. Ritual yang konon cukup berat untuk dilaksanakan. Sebab semua rombongan terutama Anjani yang hendak disucikan, harus melawan rasa takut, untuk bermalam di salah satu makam di kawasan gunung Burangrang.

Makam dari seorang Kyai bernama Abdullah Mustofa yang termasyhur dan dipercaya mempunyai pengaruh cukup besar di kawasan Jawa Barat. Beliau diyakini memiliki ilmu kanuragan tingkat tinggi dan ilmu pengobatan, yang sanggup menyembuhkan berbagai penyakit. Baik itu penyakit bawaan atau penyakit buatan manusia lainnya. Seperti ilmu santet dan guna-guna.

Nah abah Sukri ini adalah salah satu cucu dari murid terbaik Kyai Mustofa tersebut. Yakni abah Dahlan. Makam murid terbaiknya itu bahkan dimakamkan juga di kawasan yang sama dengan sang guru. Abah Sukri yang juga berguru kepada kakeknya itu, dipercaya oleh warga desa mempunyai kemampuan yang sama dengan kakeknya terdahulu. Dan benar saja, kemampuan pengobatannya-pun tak kalah tersohor ke berbagai daerah di Jawa Barat.

Konon kemampuan abah Sukri itu sudah banyak menyembuhkan orang dari berbagai penyakit. Terutama penyakit-penyakit buatan atau kiriman manusia, yang iri atau benci satu sama lainnya. 

Di daerah Lembang, kepopuleran ilmu pengobatannya bahkan sudah dikenal banyak orang. Termasuk mang Aep sendiri. Hanya saja saat itu mang Aep belum melihat secara langsung proses pengobatan dengan mata kepalanya sendiri. 

Hingga suatu ketika, mang Aep mendapatkan informasi bahwa salah satu tetangganya di Lembang, sedang melakukan pengobat kesana. Berhubung mang Aep begitu penasaran, dia akhirnya memberanikan diri meminta ijin kepada tetangganya tersebut, untuk ikut melihat proses penyembuhan anak gadisnya secara langsung. Setelah pengobatan gadis itu selesai. Benar saja. Tak perlu menunggu lama, sang gadis akhirnya dipinang oleh seorang pria dan menikah juga. 

Itulah mengapa mang Aep yang mengetahui keponakannya Anjani mempunyai kasus yang sama. Tampak begitu menggebu-gebu meminta kakaknya, ema Lastri untuk membawa Anjani ke sana. Berharap Anjanipun bisa mendapatkan jodoh dan menikah.

Setelah mendengar bagaimana proses pengobatan dan bukti kasus sembuh dari mang Aep. Ema Lastri langsung terpikat dan ingin membawa Anjani segera kesana. Sementara bagi anaknya sendiri. Fakta tersebut tak berhasil membuat Anjani terbuai dan percaya begitu saja sepenuhnya. Ada ganjalan besar di hati, ihwal benar atau tidaknya hal tersebut. Selain karena bertentangan dengan prinsip hidup dan agama yang dia anut. Pengaruh pemikiran orang kota juga membuat Anjani menganggap hal itu adalah mitos dan takhayul semata.

Walaupun pada akhirnya Anjani tetap ikut dan melaksanakan semua ritual yang dikatakan abah Sukri. Itu semua bukan berarti dia percaya. Anjani melakukannya dengan setengah hati, hanya karena tak ingin melawan perintah emanya saja. 

****

Begitu pula dengan malam itu. Meski Anjani akhirnya ikut kesana. Wajah murungnya tak bisa berbohong. Kalau saat itu dirinya begitu kesal dan marah pada emanya sendiri. Wajahnya terus ditekuk sepanjang jalan, terlihat begitu tidak bersemangat.

“Baiklah sekarang kita berangkat,” ujar abah Sukri.

Dua orang di hadapannya terlihat bersemangat. Sementara Anjani hanya bisa menghela nafas berat. Rombongan kembali berjalan menyisiri jalan setapak yang dilalui minggu kemarin. Hanya saja malam itu, di awal perjalanan rombongan di sambut oleh cahaya rembulan yang bersinar cukup lantang di langit hitam. Bulan tampak bulat sempurna membawa seluruh wibawanya, dengan sinar begitu terang benderang. 

Anjani mengangkat sedikit sudut bibir, melihat betapa indahnya pemandangan di atas bukit persawahan, yang berundak-undak. Cahaya rembulan dan taburan bintang itu, setidaknya berhasil mengobati sedikit rasa kesal di hatinya. 

Entah kenapa, semenjak menatap cahaya rembulan itu. Perjalanan yang dilalui Anjani terasa menjadi lebih ringan. Tak seperti minggu kemarin, yang terasa begitu berat dan teramat melelahkan. Entah karena dirinya sudah menghafal medan jalan. Atau karena ada satu energi lain yang menjerat dan menghinggapi hatinya. Membuat langkahnya seakan melayang dan begitu santai membelah kegelapan hutan. 

Di tempat peristirahatan pertama. Ema Lastri dan dua orang di hadapan Anjani sebetulnya sudah tahu. Kalau Anjani terlihat aneh dan sedikit berbeda. Anjani tidak terlihat cape dan letih, bahkan setetes keringat pun tak terlihat di dahinya. Berbeda dengan keadaan ema Lastri. Dadanya naik turun dengan cepat. Terlihat begitu kelelahan.

Selain itu juga. Anjani tampak lebih kalem. Tak ada peluh dan keluh sedikitpun keluar dari bibirnya. Berbanding terbalik dengan minggu sebelumnya, Anjani terus meracau ingin menyerah dan segera pulang.

Meskipun ketiganya tahu kejanggalan itu. Mereka memutuskan untuk diam dan mengabaikannya, sesuai dengan instruksi dari abah Sukri. 

Rombongan akhirnya tiba di pinggiran sungai dangkal yang mengalir cukup tenang. Tempat dimana Anjani di ganggu oleh sesosok makhluk yang membuatnya takut setengah mati. Tapi anehnya, Anjani bukannya mencengkeram tangan ema Lastri. Dia justru menghentikan langkah dan tersenyum menatap pantulan dirinya di permukaan air sungai. Setinggi pahanya.

“Bawa cepat neng Anjani ke atas Aep,” perintah abah Sukri. 

Mang Aep mengangguk lantas memapah tangan Anjani ke tepian. Anjani tampak terkejut seperti orang linglung dan pasrah mengikuti arahan mang Aep.

Kali ini, mang Aep tidak membawa Anjani ke gubuk kemarin. Rombongan rupanya berjalan lebih jauh lagi. Bahkan melewati kolam pemandian yang digunakan Anjani untuk berendam kemarin. 

Anjani melirik kolam dan tersenyum renyah. Membuat mang Aep mengerutkan dahi dan bergidik ngeri.

“Jani kamu baik-baik saja?" tanya mang Aep.

“Iya mang Jani baik-baik saja. Anjani senang bisa ke sini lagi,” sahut Anjani sambil tersenyum.

Jawaban Anjani barusan membuat mang Aep semakin yakin. Kalau sesuatu terjadi pada Anjani. Dia segera melirik abah Sukri. Memberi isyarat dengan menggelengkan kepala. Pertanda bahwa Anjani tidak baik-baik saja. Di balasnya dengan anggukan kecil oleh abah Sukri, sebagai pertanda ia telah menyadarinya juga.

Sekitar beberapa meter dari kolam. Terlihat sebuah bangunan tepat di pinggir danau. Tepatnya sebuah rumah sederhana bercat hijau, berdinding tembok dan beratap genteng. 

Rombongan akhirnya tiba di pekarangan rumah. Abah Sukri tak lantas menyuruh rombongan langsung masuk ke dalam, karena harus mensucikan diri terlebih dahulu.

Ema Lastri dan Anjani berwudu. Begitupun dengan abah Sukri dan mang Aep. Setelah selesai bersuci. Rombongan akhirnya masuk ke dalam ruangan. Berbentuk persegi panjang. Yang lumayan cukup luas. Begitu masuk ke dalam, ema Lastri dan Anjani terbelalak melihat dua makam, dengan batu nisan di balut kain hijau, tepat berada di tengah ruangan tersebut. 

Itulah makam Kyai Mustofa dan kakek abah Sukri, yakni abah Dahlan. Abah Sukri meminta rombongan untuk duduk sejajar tepat di belakangnya untuk memulai ritual. Kali ini ritual di mulai dengan membacakan doa-doa untuk mendoakan kedua almarhum yang telah tiada. Setelahnya barulah abah Sukri menyalakan dupa dan kemenyan di atas sebuah serabutan kulit buah kelapa kering. Lantas diletakkan tepat di tengah ke dua makam.

“Coba bawa neng Anjani kemari neng,” pinta abah Sukri pada ema Lastri. Karena Anjani terlihat seperti orang linglung.

Abah Sukri mengusapkan air ke wajah Anjani beberapa. Seketika Anjani mengerjap, dan terlihat heran. Menyadari dirinya berada di tempat asing.

Anjani melirik emanya di belakang. Memberikan isyarat. Kenapa dirinya ada disini.

“Tenang neng. Tadi perjalanan neng Anjani dibantu sama penunggu gunung,” tutur abah Sukri.

“Hah maksudnya bah?” Anjani terkejut, sekaligus tak mengerti maksud perkataan abah Sukri barusan.

“Jadi tadi neng Anjani dirasuki satu roh penunggu gunung. Dia membantu, karena tidak mau melihat neng Anjani kelelahan,” ujar abah Sukri.

Ema Lastri sama terkejutnya dengan Anjani. Mendengar perkataan abah Sukri barusan.

“Oh pantas saja. Jani heran kok sudah ada disini. Anehnya lagi Jani tidak merasa lelah sedikitpun bah,” ujar Anjani seraya menyapu ruangan dan mengusap wajahnya.

“Benar. Neng nggak usah takut. Dia hanya membantu saja. Tidak akan mengganggu.”

Anjani mengangguk ragu. Tetap saja yang namanya dirasuki hantu. Pasti sangat menakutkan.

Lihat selengkapnya