Sukma Raga

Yeni fitriyani
Chapter #12

Bermimpi Tentangnya Lagi

Di atas tempat tidur, Anjani tak berhenti tersenyum, menatap foto profil seorang pria yang baru saja ditemuinya siang tadi.

Terlihat jelas dan tak bisa dibohongi. Wajah Anjani tampak begitu lega dan bahagia. Setelah mengetahui Romi ternyata pria yang baik dan jujur. Semua hal yang tergambarkan di dunia maya, nyata benar adanya. Dia tidak pernah mengada-ada atau berbicara palsu tentang apapun. Apa yang dia katakan di medsos. Sejatinya benar-benar dirinya apa adanya, tanpa ada yang di tutup-tutupi. Dan karena itulah pria yang bernama Romi itu, nyata telah mencuri hati Anjani pada pandangan pertama. 

Senyap-senyap Anjani menutup mata perlahan, seraya memeluk erat Hp miliknya. Seakan-akan Hp dengan casing merah marun itu adalah kebahagian terbesarnya saat itu. Yang tak rela Anjani lepas dan berada jauh dari jangkauannya. 

Meski kedua matanya terasa berat dan lelah. Namun kelebatan senyum Romi yang menawan masih saja terngiang-ngiang dalam pikirannya. Dan kembali merekah-lah lagi senyum di bibir mungilnya. Kilasan-kilasan indahnya momen pertemuan itu terus berputar. Hingga pada satu titik moment di cafe tadi. Senyum di bibirnya tiba-tiba lenyap. Begitu satu kelebatan ingatan tak terduga, berputar di kepalanya.

Sontak Anjani kembali membuka kedua mata lebar-lebar dan rasa kantuk yang mendera, hilang begitu saja. Saat menyadari satu hal yang sedari tadi mengganjal di hatinya. Anjani ingat jika senyum pria misterius di cafe tadi adalah senyum yang sama dengan pria di gunung waktu itu. Pria tampan yang muncul di dalam mimpi yang mengajaknya menyeberang danau. 

Dada Anjani tiba-tiba naik turun. Khas orang panik yang sedang dilanda ketakutan luar biasa. Bulir-bulir keringat bahkan terlihat mulai merayap di keningnya.

“Wajah pria itu kenapa sama dengan pria yang aku mimpikan di gunung waktu itu,” gumam Anjani seraya menutup mulutnya yang menganga.

Anjani menggelengkan kepala untuk menyingkirkan pikiran aneh itu.

“Ah itu pasti cuma perasaanku saja. Mereka mungkin terlihat mirip. Toh aku juga melihatnya hanya sekilas tadi,” gumam Anjani dalam hati. Lalu kembali membenamkan diri ke bawah selimut hangatnya, dengan perasaan gundah.

****

Keesokan harinya, Anjani acap kali menghembuskan nafas berat, untuk menghilangkan kegusaran dan kegelisahan di hatinya. Sepanjang waktu Anjani terus saja teringat pada wajah pria yang dia mimpikan di gunung waktu itu. Meski dirinya sudah berusaha sekuat tenaga mengenyahkan pemikiran itu. Tetap saja bayang-bayang pria itu terus menghantui Anjani. Bahkan sejak dirinya mulai sadar akan hal janggal kemarin. Anjani merasa sosok itu selalu mengawasinya. 

Tadi pagi saja, saat Anjani sedang berada di dalam Angkot. Anjani yakin betul, kalau saat itu dirinya melewati seorang pria yang berdiri di tepi jalan. Dan tak bisa dipungkiri lagi. Pria itu sama persis dengan pria di gunung dan di cafe kemarin.

Di pedistrian jalan, pria itu berdiri dan tersenyum pada Anjani. Tubuhnya tampak bersinar terpapar cahaya mentari pagi.

Anjani bergidik ngeri dan menggelengkan kepala untuk menghilangkan rasa takut itu. Dan berusaha kembali fokus menatap layar komputer untuk mengerjakan tugas kantornya yang sudah menumpuk. 

Setelah berusaha keras. Anjani akhirnya mulai fokus mengerjakan tugasnya. Namun di sela-sela Anjani fokus mengerjakan tugasnya. Tubuhnya tiba-tiba terhenyak, mendengar suara telepon berdering tepat di sampingnya. Entah kenapa hari itu, Anjani tampak lebih sensitif dan kagetan. Padahal telepon itu sudah biasa berdering, setiap kali rekan kerja atau atasannya memanggil atau sekedar menanyakan sesuatu padanya.

“Mengagetkan saja,” ujar Anjani seraya mengangkat gagang telepon.

“Haloo,” ujar Anjani. 

“Haloo,” ujar Anjani kembali.

Dahi Anjani berkernyit, sebab tak ada sahutan di ujung sana. Hanya terdengar suara seperti gemercik air. Sadar akan hal itu, Anjani segera mengembalikan gagang telepon ke tempatnya. Lantas kembali berkutat dengan layar komputer.

Tak berlangsung lama, telepon di sampingnya kembali berdering. Anjani segera mengangkatnya, lalu mengapit gagang telepon di antara kepala dan bahu. Supaya tangannya tidak terganggu dan tetap bisa mengerjakan tugasnya di layar komputer.

“Halo.”

“Anjani,” panggil seorang pria.

Lihat selengkapnya