Kamis malam, Anjani menenggelamkan diri dalam selimut. Menutupi hampir seluruh tubuh, kecuali kedua matanya. Anjani yang terlentang menggulirkan mata menyapu seluruh ruang kamar yang temaram.
Anjani menangkap satu energi lain di dalam kamar, yang membuatnya gelisah. Sehingga kedua matanya tak kunjung juga terlelap. Dalam hati, Anjani tak berhenti berdoa sebagai upayanya mengenyahkan kegundahan yang melanda hatinya.
Malam merayap menuju pertengahannya. Keadaan terasa hening dan mulai mencekam. Suara lolongan Anjing yang tak pernah terdengar. Tiba-tiba melengking nyaring dari rumah tetangga yang memelihara Anjing berjenis Kintamani di pekarangannya. Di susul suara desiran angin cukup kencang menerpa kaca jendela.
Mata Anjani bergulir pada sumber suara. Lantas terlihat satu bayangan hitam berkelebat di luar rumah. Entah itu bayangan pohon atau bayangan sosok makhluk hidup. Nyata berhasil membuat tubuh Anjani menciut. Selimut mengerut seperti kepongpong ulat yang menggeliat.
“Hiiiiii. Tadi itu apa?” gumam Anjani pelan.
“Tahu begini tadi tidur sama ema saja,” gumamnya lagi.
Malam semakin sunyi, kesunyian yang menekan gendang telinga, membuat Anjani senyap-senyap mulai merasa kantuk. Kehangatan selimut juga sepertinya berhasil memberi sedikit ketenangan. Membuatnya mulai terlelap.
Tepat pukul 2 dini hari, satu energi masuk ke kamar dan menggoyahkan ketenagaan tidur Anjani. Kreyep-kreyep mata Anjani terbuka, setengah sadar. Dengan pandangan yang masih mengabur, belum fokus seutuhnya. Anjani tak sengaja melirik satu sudut kamar yang lebih gelap dari sisi lainnya. Anjani mempertajam pandangannya untuk melihat sesuatu yang terasa janggal di sudut itu.
Tak disangka dan tak di duga. Mata Anjani menangkap satu sosok hitam berdiri di sana. Meski sudut itu gelap. Warna hitam pekat bayangan itu masih bisa terlihat pembedanya. Anjani terbelalak, setelah matanya menangkap sosok itu.
“Astagfirullah,” ujarnya.
Saat Anjani masih terjerat oleh kehadiran sosoknya. Bayangan itu tiba-tiba bergerak seperti sengaja ingin menampakkan diri pada Anjani. Dia berjalan beberapa langkah dan berhenti tepat terpapar cahaya rembulan dari balik jendela. Tubuhnya tinggi menjulang, mengenakan setelan jas berwarna hitam, hanya saja wajah sang bayangan tak begitu terlihat. Masih terselubung dalam bayangan gorden kamar.
Sadar fakta yang di tangkap kedua indra penglihatannya itu nyata. Anjani meringkukkan tubuh seperti keong. Selimut tampak gemetar, sebab tubuh Anjani gemetar hebat. Keringat mengucur deras di kening dan seluruh tubuhnya. Dalam selimut Anjani terus berdoa sebisa-bisa berharap Tuhan segera menghilangkan sosok bayangan menakutkan itu.
“Ya Allah tolong Jani. Kuatkan Jani. Jauhkan makhluk itu,” doa Anjani seraya menutup mata di dalam kegelapan selimutnya.
Setelah beberapa lama berkutat dalam ketakutan. Anjani membuka mata, sebab tak terjadi apa-apa. Lantas memberanikan diri menyingkap sedikit sudut selimut untuk memastikan, apakah bayangan itu masih ada atau sudah menghilang.
“Ah tidak ada. Apakah dia sudah pergi?” tanya Anjani dalam hati.
Anjani terus berpikir dalam ketakutannya. Apakah harus bertahan di kamar atau memberanikan diri, meloloskan diri dan masuk ke kamar emanya. Sekali lagi Anjani menyorot sudut dimana sosok itu berdiri. Kali ini yang terlihat hanya kegelapan tanpa ada sosok hitam yang kentara warnanya disana.
“Bismillah,” ujar Anjani.
Lantas dengan kekuatan yang tersisa Anjani bergerak dua kali lebih cepat. Meski sebenarnya tubuhnya itu terasa melayang, mengambang di udara. Anjani menyingkap selimut, beranjak dari kasur, tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri. Kedua kakinya melangkah menuju pintu. Kemudian tangannya memutar engsel pintu.
“Ya ampun. Kenapa nggak bisa kebuka. Ini kenapa,” gumam Anjani sambil terus memutar dan menarik engsel pintu. Beberapa kali kunci yang menempel di lubangnya, Anjani putar ke kanan dan ke kiri. Untuk memastikan pintu tidak terkunci.
“Tidak terkunci. Kenapa tidak bisa dibuka.”
Anjani menggedor-gedor pintu berharap Arka atau emanya bisa mendengar dari luar.
“Arka. Ma,” teriak Anjani terbata dengan tangan gemetar.
Dalam ketegangan itu. Satu hal yang harusnya bisa menghentikan degup jantung Anjani terjadi. Suara derap langkah terdengar dari satu sudut kamar. Terdengar jelas mendekat padanya. Anjani melotot dengan dada naik turun dengan cepat. Dia tak berani menoleh. Fokus terus menggedor pintu.
“Ma. Tolong Anjani," Suaranya semakin pelan. Tertekan rasa takut yang begitu mendalam.
“Anjani,” panggilnya.
“Ampun. Ampun,” parau suara Anjani mulai menangis ketakutan. Tubuhnya tak lagi bisa di gerakkan. Tangannya mengeras memegangi engsel pintu.
“Anjani,” panggilnya lagi.
Airmata mengalir deras seirama dengan kucuran keringat di kening dan pelipis mata Anjani. Tangis mulai terdengar dari bibir Anjani.
Heeee. Heee. Heee
Perlahan Anjani melirik makhluk yang memanggilnya. Anjani membayangkan sosok hitam yang dia lihat dalam mimpinya waktu itu. Tapi begitu Anjani menatapnya, isak tangis Anjani mereda. Melihat sosok hitam itu berubah menjadi sosok putih bercahaya penuh kemilau. Wajah pria yang selalu Anjani lihat akhir-akhir ini. Dengan renyahnya tersenyum pada Anjani. Pesonanya yang menawan meluluhkan seluruh rasa takuh yang Anjani rasakan.