Mobil tua milik almarhum bapak Anjani melesat membelah udara dingin pegunungan. Kali ini, yang mengendarai adalah Giandra, anak sulung ustad Sobirin. Giandra rupanya tak sampai hati membiarkan Arka yang sedang takut dan gelisah mengendarai mobil. Takut terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.
Sepanjang jalan tak terlalu banyak perbincangan. Tak seperti biasanya. Padahal kalau bepergian, ema Lastri selalu ngoceh ngaler ngidul menceritakan apa saja. Seolah tak akan habis bahan obrolannya. Begitupun dengan pak Ustad Sobirin, meski dia sebenarnya penasaran ingin mengetahui apa yang sedang terjadi. Tapi melihat ema Lastri sedang dilanda kepanikan dan perasaan khawatir pada putrinya. Pak Ustad memilih untuk tidak bertanya terlebih dahulu. Fokus pada perjalanan yang lumayan cukup jauh dan masuk ke daerah pedesaan. Arka sesekali memetakan jalan kepada Giandra, supaya tidak sampai tersasar. Beruntung daya ingat Arka lumayan bagus. Meski baru sekali saja ke rumah abah Sukri. Dia tetap hafal jalannya.
“Parkir disini saja A,” ujar Arka pada Giandra.
Giandra mengangguk, lantas menghentikan mobil tepat di depan rumah bercat merah muda.
“Lewat sini pak Ustad,” ajak ema Lastri sambil mengarahkan jalan.
Pak Ustad dan Giandra mengangguk, lantas mengikuti keduanya. Di depan Arka melilit tangan emanya seperti ular. Di belakang Ustad Sobirin dan Giandra mengamati alam sekitar. Seraya terus membaca doa-doa dan dzikir.
Setelah perjalanan yang cukup jauh. Rombongan tiba di teras rumah abah Sukri yang sudah bersiap-siap duduk di pekarangan bersama dengan Aep. Menunggu kedatangan ema Lastri dan Arka.
“Assalamualaikum,” ujar ema Lastri.
Serentak Abah Sukri dan Aep menjawab salam. “Waalaikum salam.”
“Eh. Dengan siapa ini neng?" abah Sukri menanyakan perihal dua pria yang mengikuti ema Lastri.
“Bah saya dengan pak Ustad Sobirin dan Giandra. Kemarin pak Ustad katanya melihat Anjani di buntuti seorang pria. Yang belakangan ini sering Anjani mimpikan dan acap kali menunjukkan diri padanya. Awalnya saya tidak percaya bah. Tapi melihat ketakutan Anjani yang semakin hari semakin menjadi jadi. Saya mulai curiga. Tapi tidak menyangka kalau akan seperti ini jadinya.” tutur ema Lastri.
Abah Sukri mengangguk kepada dua orang yang mengenakan koko berwarna putih di balut jaket tebal. Di balasnya dengan anggukan dan mereka bersalaman.
“Bagaimana ciri-cirinya Ustad?” tanya abah Sukri, seperti ingin memastikan sesuatu. Yang sebenarnya sudah dia ketahui.
“Dia seorang pria berwajah sendu. Mengenakan kemeja putih dan celana biru dongker. Di lihat dari energi yang terpancar dari tubuhnya. Tidak ada tanda-tanda berbahaya sama sekali,” penjelasan Ustad Sobirin.
“Seperti itu rupanya,” abah Sukri mengangguk. Pertanda dia paham betul apa yang dikatakan Ustad Sobirin barusan.
“Apakah abah tahu siapa dia?” tanya Ustad.
“Iya. Saya tahu dia siapa Ustad. Tapi akan saya ceritakan nanti. Sebab kita diburu waktu. Semoga saja belum terlambat,” ujar abah Sukri.
Abah Sukri menata Ustad dengan tatapan tak biasa. Terlihat jelas gurat takut dan cemas di sorot matanya. Ema Lastri yang melihat dan mendengar perkataannya barusan. Tentu saja butuh sebuah penjelasan. Sebab ini menyangkut keselamatan anak gadisnya.
“Terlambat apa maksud abah?” tanya ema Lastri merasa curiga. Dahi ema Lastri mengerut menampakkan garis bergelombang di keningnya.
“Sabar neng Lastri. Sebaiknya sekarang kita bergegas dulu saja, nanti abah ceritakan semuanya,” ujar abah Sukri, seraya memberi isyarat lewat tatapan pada Aep dan Ustad Sobirin sebagai isyarat supaya bisa membantunya memberikan penjelasan pada ema Lastri. Untuk mengesampingkan dulu permintaan penjelasannya itu. Sebab yang terpenting sekarang adalah segera pergi ke atas gunung, untuk memastikan. Benarkah Anjani ada di sana.
Aep mengerti isyarat itu. Lantas segera mengalihkan pembicaraan. “Teh kita harus bergegas. Supaya kita tahu kepastian ini. Kalau ditunda, nanti keburu malam. Biar nanti Aep yang jelaskan di jalan.” Aep coba meyakinkan kakaknya yang terlihat begitu cemas.
“Tapi nggak akan terjadi apa-apa kan sama Anjani.”
“Makanya kita harus bergegas sekarang,” Aep sekali lagi mengangguk cepat untuk meyakinkannya.
“Ya sudah hayu Aep,” Ema Lastri menyetujui dan mengikuti langkah kaki abah Sukri dan Ustad Sobirin yang berjalan paling depan.
Perjalanan rombongan dilanjutkan di mulai. Abah Sukri memberikan senter kepada semua orang sebagai alat bantu penerangan jalan. Sepanjang jalan Arka tak melepaskan pelukannya. Justru terlihat lebih kencang. Membuat ema Anjani kerap kali menggeliat, melonggarkan belitan tangan Arka.
Rombongan melangkah memasuki hutan rimba yang lebat. Cahaya semakin lama semakin meredup, hingga benar-benar padam. Hanya cahaya senter yang membatu penglihatan, membuat langkah melambat. Takut jika salah melangkah di depan. Ema Lastri dan Arka berjalan merayap dengan tangan meraba-raba pepohonan yang mengapit keduanya. Arka terkadang terpeleset, kakinya tersangkut pada ranting-ranting pohon di atas tanah. Disini yang terlihat repot justru ema Lastri, sibuk menjaga anak cowoknya yang super penakut. Beruntung ada Giandra yang acap kali membantu Arka bangkit dari simpuhnya.
Rombongan terus merangsek ke dalam hutan. Jalan berubah terjal, berbatu dan ada jurang mengangga di samping kiri mereka. Arka bergidik ngeri menyorotkan cahaya senter ke kedalaman jurang yang pekat.
“Hati-hati Ka. Jangan terlalu fokus melihat ke bawah. Fokus saja melangkah ke depan. Di hutan jangan terlalu banyak lirik kanan dan kiri,” ujar Giandra.
“Ngeri banget A,” sahut Arka.
“Sambil terus berdzikir dan berdoa minta perlindungan sama Allah, ” saran Giandra.
“Iya A.”