Ustad Sobirin merengkuh pundak ema Lastri dan menatap kedua matanya dengan lekat. Supaya bisa mempercayakan Anjani padanya.
“Percayakan Anjani pada saya dan abah Sukri. Kita berdua akan berusaha membawa Anjani pulang dengan selamat. Sementara itu, ema dan Arka tunggu disini bersama Giandra dan Aep,” tutur Ustad Sobirin.
Ema Lastri mengangguk pasrah. Melihat anaknya yang tak berdaya. Terjerat sirep siluman menyerupai pria tampan.
“Iya Ustad. Tolong anak saya. Selamatkan dia,” ujar ema Lastri terbata.
Ustad Sobirin mengangguk pada ema Lastri, kemudian pada Giandra sebagai isyarat untuk menjaganya. Dibalas anggukan kecil oleh Giandra, pertanda paham maksud isyarat itu. Ustad Sobirin beranjak mendekat pada abah Sukri.
“Mari bah kita selesaikan sekarang?” ujar Ustad Sobirin seraya menyentuh pundak abah Sukri.
“Baik Ustad,” sahut abah Sukri.
Keduanya melangkah perlahan mendekati tepian danau, dimana ada sebuah batu besar yang menjadi pijakan Anjani sekarang. Ustad Sobirin mengerutkan dahi, menangkap mata sang siluman yang berniat menjerat sukma Anjani. Dia terus saja merayu dan berbisik supaya Anjani mengikutinya.
“Sebenarnya siapa pria itu bah?” tanya Ustad Sobirin.
“Dia adalah qorin dari seorang pria yang menghabisi nyawanya sendiri, karena di tinggal nikah oleh kekasihnya,” tutur abah Sukri.
“Apa abah tahu keberadaannya selama ini?” tanya Ustad lagi.
“Iya, tapi dia tidak pernah menganggu. Justru selalu membantu dalam proses pembukaan aura yang saya lakukan pada beberapa orang yang datang pada saya Ustad,” penjelasan abah Sukri.
Ustad Sobirin mengelus dada sambil beristigfar. “Astagfirullah. Ternyata demikian bah. Berarti kita harus berhati-hati melihat niatnya begitu besar untuk mengambil Anjani.”
“Benar. Neng Anjani sepertinya memiliki daya pikat, sehingga dia begitu berhasrat padanya.”
“Benar bah, untuk itu kita pelan-pelan saja. Sebab sekali saja Anjani melangkah lebih dalam. Dia tak akan bisa kembali,” ujar Ustad Sobirin seraya menatap mata abah Sukri.
Abah Sukri mengangguk. “Biarkan saya coba mendekati dan berbicara dengannya terlebih dahulu Ustad,” pinta abah Sukri.
“Silahkan bah.”