Segera setelah siluman itu menghilang. Aep membantu Giandra menarik tubuh Anjani ketepian danau. Ema Lastri dan Arka berlari, langsung memeluk tubuh Anjani yang terkulai lemas. Giandra meminta ema Lastri untuk melepaskannya terlebih dahulu. Mengingat Anjani terlalu banyak meminum air danau.
“Sebentar Ma. Kita cek dulu pernapasan Anjani.”
Ema Lastri mengangguk dan membaringkan Anjani di atas tanah. Giandra mendengarkan nafas Anjani dan menempelkan jari jemari di pergelangan tangan, untuk memastikan denyut jantung Anjani. Beruntung degup jantung normal meski cenderung lemah. Dan nafasnya sedikit berat, sebab air danau mengisi paru-parunya. Giandra menekan dada Anjani dengan kedua telapak tangan yang di silangkan. Beberapa tekanan, Anjani batuk memuntahkan Air bening. Sekaligus mengembalikan kesadaran Anjani.
Ohhooooook... ohhhhoookkk.
Ema Lastri menepuk-nepuk punggung Anjani, membantu mengeluarkan seluruh air dari dalam tubuhnya.
“Anjani kamu baik-baik saja nak?” tanya ema Lastri.
Anjani kembali terkulai dengan tatapan kosong. Melihat itu ema Lastri melirik pada Giandra. Dan mempertanyakan kondisi anaknya.
“Kenapa dia seperti ini dra?” tanya ema Lastri terbata, sebab airmata tak henti mengalir dari kedua matanya.
Giandra menatap ayahnya, untuk memberi isyarat. Ustad Sobirin mengangguk paham.
“Kita bawa Anjani ke bawah terlebih dahulu. Sebelum siluman-siluman itu kembali,” ujar Ustad Sobirin.
Semua orang setuju. Abah Sukri yang menuntun jalan. Disusul oleh Arka dan Giandra yang membopong tubuh Anjani yang terkulai lemas. Aep merangkul tubuh ema Lastri yang juga terlihat lelah dan ketakutan. Ustad Sobirin berjalan terakhir untuk memastikan tidak ada yang mengikuti atau menghadang serangan dari para siluman dari belakang.
Di pertengahan jalan, Aep menggantikan Giandra yang kelelahan. Ketiganya terus bergantian, mengingat medan berat. Tentu saja akan menguras banyak tenaga. Membawa diri sendiri saja teramat lelah. Apalagi harus membopong seseorang. mereka pasti sangat kelelahan dan kewalahan. Beruntung mereka masih sangat muda, tenaga mereka masih kuat.
Ustad Sobirin sesekali tertinggal di belakang. Tapi Arka membiarkannya begitu saja. Sesuai dengan instruksi awal yang dia perintahkan.
“Kalian terus saja jalan. Jangan melihat ke belakang. Mengerti,” ujar Ustad Sobirin pada semu orang.
“Ma Ustad tidak ada di belakang,” ujar Arka pada ema Lastri, yang sekarang digantikan Giandra membopong Anjani. Dan sekarang dia bergegas menjaga ema Lastri.
“Sudah jalan terus Arka. Sesuai perintah Ustad tadi. Ustad pasti bisa menyusul kita,” sama Lastri terbata, sebab nafasnya tersengal-sengal.
Arka melirik sebentar ke belakang, untuk memastikan Ustad Sobirin kembali. Namun belum terlihat. Dia kembali focus berjalan ke depan.
Di belakang Ustad Sobirin ternyata mengenyahkan siluman-siluman yang mencoba mengejar. Dia membuat benteng, untuk menghadang mereka beberapa saat. Sementara rombongan sedang bergegas turun ke bawah.
Beberapa kali tubuh Anjani tersungkur, sebab orang yang membopongnya terpeleset. Segera semua orang membantu dan rombongan melanjutkan perjalanan. Tepat di sebuah gubuk di perbatasan hutan dan persawahan. Rombongan beristirahat sejenak mengatur nafas yang tersengal-sengal. Selain sudah keluar dari zona hutan. Rombongan juga hendak menunggu Ustad Sobirin yang tertinggal di belakang.
Arka mundar mandir tepat di perbatasan jalan setapak hutan. Setelah menunggu setengah jam. Arka mendengar derap langkah dari dalam hutan. Dia mundur beberapa langkah. Waspada jika yang muncul bukanlah Ustad Sobirin. Dia memasang kuda-kuda untuk menghadang sesuatu yang muncul dari kegelapan.
Seesuatu mulai tampak, perlahan bayangan hitam mulai menampakkan diri dengan jelas. Arka bernafas lega. Melihat Sosok itu adalah Ustad Sobirin yang berlari tergesa-gesa. Lantas merangkul Arka yang sedang menunggunya.
“Alhamdulillah. Arka. Kita sudah keluar dari bahaya,” ujar Ustad Sobirin sambil menepuk pundak Arka.
“Alhamdulillah Ustad,” sahut Arka.
Ustad Sobirin mendekati Anjani dan mengamati wajah, serta sorot matanya dengan seksama.