Aaaaaaa, toloooong!” aku segera berjongkok dan melindungi kepalaku dengan tangan. Jika ditambah satu besi lagi mengenai kepalaku, aku yakin nyawaku akan melayang. Aku tidak mau mati muda. Masih banyak hal yang ingin kulakukan. Travelling, berbelanja, pacaran dan oh ya ampun.... kok tidak ada besi yang meluncur turun. Kepalaku celingukan, mengabsen tanah sekitar. Barangkali, besinya jatuh di sekitarku dan karena kaget, aku kehilangan fungsi pendengaran. Bisa jadi begitu kan? Tapi, tanah di sini berubah. Aku masih ingat kalau tanah di sekitar bangunan itu berdebu, ada banyak sisa semen dan pasir, juga tumpukan batako. Sedangkan tanah yang sedang kupijak tertutup rumput. Tak jauh dari posisiku berjongkok, air sungai mengalir. Jernih. Bebatuannya menghitam.
Aku tercenung.
Ini di mana? Apa aku sudah mati?
Bingung, aku segera berdiri dan melihat sekitar dengan seksama. Hal yang kulihat pertama kali adalah seorang pria memakai baju ala bangsawan di jaman kerajaan. Sebuah baju yang sulit kudefinisikan. Bagus, tapi tak ada kesan modern sama sekali. Pria itu melangkah ke arahku. Iya, sepertinya dia memang menujuku sembari melempar kerisnya ke sembarang arah.
“Apa kamu malaikat yang menanyai di alam kubur?” tanyaku merinding, apa malaikat yang bertanya di alam kubur sebenarnya hanya satu? Tidak dua seperti yang dikisahkan guru ngajiku dulu. “ka—kkaa.”
Malaikat itu mengusap pipiku. Tak ada kata yang dia ucapkan. Matanya begitu sendu. Konon katanya, malaikat Munkar dan Nankir itu berwajah bengis dan membawa gada. Kenapa malaikat di depanku berwajah rupawan dan membawa keris? Yah, sekalipun pakaiannya kuno. Wajahnya adalah jenis wajah dengan ketampanan yang membutakan. Apalagi matanya. Mata sendu yang mengundang siapa saja untuk mengasihani. Lalu kerisnya? Apakah untuk daerah timur tengah membawa gada, sedangkan daerah Jawa memakai keris? Tergantung daerah tugasnya begitu? Apakah malaikat penanya di alam kubur akan membawa bumerang jika ditugaskan di Australia? Aku mengedip, menghalau ide-ide nakal di kepala.
“Kamu tidak menanyaiku? Siapa Tuhanku?” ucapku deg-degan.
“Rindu.” Akhirnya kata itu keluar dari bibirnya yang merah. Tangannya masih belum beranjak dari pipiku.
“Rindu?” aku menggumam. Pertanyaannya rindu? Bukan siapa nama Tuhanmu, ya?