Rencanaku gagal. Aku tidak berhasil pergi dengan Raden Inu Kertapati ke tempat pertapaan Dewi Kilisuci karena punggawa kerajaan Panjalu datang dan membawaku bertemu Raja Panjalu. Semua alasan yang kusiapkan agar bisa kabur juga tidak mempan karena wanita tua yang mengaku dayang inangku. Aku tidak berdaya apa-apa. Jabatan saja putri kerajaan, tapi pergi sesuka hati tak bisa.
Sesampainya di bangunan yang dihuni putri raja, aku segera mandi dan disuruh menghadap Raja Panjalu. Kalau aku adalah Dewi Sekartaji yang bergelar Galuh Candra Kirana, maka hari ini penguasa Jenggala adalah Lembu Amerdadu? Eh, bukan. Entah siapa. Aku menghela napas, melihat paseban agung dari gerbang. Bangunan itu megah dan kokoh tanpa dinding. Pasak-pasak bangunan itu terbuat dari kayu pilihan. Ukiran di siti hinggil benar-benar bagus. Gembyok itu memanjang dan dihias dengan bunga-bunga segar. Kesan klasik dan mistik itu diperindah dengan sorot obor berwarna merah keemasan. Aku tertegun. Baru sekali ini aku menatap bangunan dengan rasa berdebar-debar. Arsitektur klasik memang selalu membawa keajaiban di mataku.
Usai memuaskan diri memandangi keindahan paseban agung, aku berjalan dengan penuh percaya diri menghadap Raja Jenggala. Pengawal kerajaan menatapku nanar, begitu juga wanita cantik yang duduk bersebelahan dengan Sang raja. Sebagai orang yang memiliki akal, aku segera menyadari kesalahan yang kulakukan. Terang saja, aku berada di jaman yang berbeda dengan jamanku. Barangkali, bertemu presiden ya bertemu saja. Maksudku, tidak perlu menghormat apalagi berjalan sambil duduk untuk mendekat pada pemimpin kerajaan. Sedangkan pada jaman ini, tentu unggah-ungguh bertemu raja masih dijunjung tinggi.
“Dewi Sekartaji,” wanita cantik di sebelah raja memanggilku, ah tidak..., dia sedang menegurku.
Aku memutar otak, alasan apa yang kupakai. Tidak mungkin aku bilang bahwa aku tidak tahu etika kerajaan. YA AMPUN! Aku baru ingat. Jika aku berada dalam tubuh Galuh Candra Kirana, lantas kemana sukmanya Galuh Candra Kirana? Aku bisa masuk ke sini setelah tertimpa besi, apakah dia juga berada dalam bahaya sebelumnya hingga akhirnya kami bertukar posisi? Entah kami bertukar posisi atau hal buruk telah terjadi.
“Kamu benar-benar tidak sopan.” Lanjut Permaisuri cantik itu padaku. Kalau tidak salah... hm, sebentar, ibu Galuh Candra Kirana sudah meninggal. Berarti yang duduk di singgasana ratu adalah selir dan bergelar Padukaliku. Kalau begitu, as-ta-ga! Hatiku mencelos bermeter-meter karena menyadari bahwa wanita cantik itu adalah seorang pembunuh. Dalam literatur sejarah yang kuketahui pasca mengikuti Arung Sejarah Se-Jawa Timur dulu, Padukaliku menjadi permaisuri setelah membunuh permaisuri sebelumnya.