Istana yang kuhuni adalah sebuah bangunan joglo yang didominasi oleh kayu merbabu dan kayu akasia. Bagian pintu menghadap ke utara dan dijaga oleh dua orang prajurit. Di bagian halaman, bunga-bunga nampak asri. Aroma melati begitu pekat. Tak heran jika ini memang jaman kerajaan Jenggala-Panjalu, udara di sini begitu bersih. Berbeda dengan jamanku. Bisa menghirup udara tanpa polusi adalah mimpi nomer tiga puluh tujuh. Apalagi di Jakarta.
“Gusti ayu....” dayang inangku berlari-lari menyambutku di pintu gerbang ketika aku sibuk membandingkan dua jaman yang pernah kutinggali. “Gusti Galuh Ajeng sudah menunggu,” ucapnya dengan wajah khawatir.
Aku mengangguk kemudian menuju bangunan yang katanya adalah rumahku. Dua prajurit yang menjaga pintu itu menghormat, aku mengangguk kemudian masuk ke dalam rumah. Seorang gadis cantik berpakaian model kemben warna hitam beludru duduk anggun di kursi. Selendangnya menjuntai di lantai, diperindah kain batik melilit sepasang kakinya yang jenjang. Aku berdecak kagum. Seluruh yang ada pada dirinya begitu mempesona. Pakaian yang ia kenakan sangat pas melekat di tubuhnya yang proporsional. Omong-omong, orientasi seksku masih normal. Aku memujinya bukan karena naksir atau sejenisnya, tetapi dia memang serupa bidadari yang menjelma di bumi.
Galuh Ajeng hanya menoleh padaku. Tidak sedikitpun posisi duduknya berubah. Tidak baik diam saja, aku memutuskan untuk duduk berhadapan dengannya. Dia tersenyum padaku.