SUKMA SELIRA

Susanarisanti
Chapter #6

Bab 6 Kekuatan yang Tersembunyi

Dayang inangku paling sibuk mempersiapkan pakaian yang akan kukenakan, begitu juga kegigihannya merias wajahku dengan kemampuan pas-pasan. Barangkali, beauty vlogger akan menangis melihat tekniknya. Aku menyudahi pekerjaannya dan berinisiatif berdandan sendiri. Dia hanya mendesah lalu mengambil baju yang akan kukenakan.

Aku mau memakai make up look apa ya? Bold ala Amerika atau natural ala Korea? Ini adalah perjamuan yang akan digunakan untuk mempermalukanku. Pasti. Galuh Ajeng pasti ingin mengolok-olokku karena pada akhirnya aku kalah dan dia yang menang karena berhasil menikahi putra mahkota dari kerajaan Jenggala.

Oke. Gaya natural saja dengan lipstik paling merah. Ini akan membuatku terlihat mencolok di pesta. Dengan begitu, aku tidak akan terkesan gadis lemah dan pasrah. Tanganku mengambil cawan berukir garuda pada bagian atasnya. Kosmetik di jaman ini dikemas dengan cara yang sederhana. Dalam cawan-cawan yang terbuat dari kayu. Berbeda dengan 2020 di mana semua kosmetik dikemas dalam berbagai varian bentuk agar bisa dibawa kemana-mana, tidak ribet dan yang paling penting menarik dipandang mata.

“Gusti Ayu yakin akan menghadri pesta perjamuan yang diadakan Gusti Galuh Ajeng?” dayang inangku duduk dengan tangan tertumpuk di atas paha.

Kepalaku mengangguk, “pengecut sepertinya harus tahu siapa yang dia hadapi sekarang.”

Dayang inangku mengerut. “Biasanya Gusti Ayu lebih banyak diam dan tidak membalas keusilan Gusti Galuh Ajeng, kenapa sekarang Gusti Ayu ingin membalas?”

Membalas? Aku tak punya dendam pada Galuh Ajeng, jadi bukan untuk membalas yang tepat. Aku tersenyum kecil, “bukan, aku tidak memiliki dendam padanya. Membalas keculasannya hanya akan membuat keculasannya lebih besar lagi, seperti bensin yang dituangkan di atas api yang tengah berkobar. Jadi, kamu tenang saja, Mbok. Aku hanya sedang suntuk dan ingin bersenang-senang.”

“Bensin?” gumamnya bingung,

Kemudian, aku membiarkannya berpikir sendiri tanpa memberikan penjelasan satu pun. Dia mungkin tidak akan menemukan jawaban dari kata itu karena pada jaman ini yang paling terkemuka adalah rempah-rempah, bukan minyak bumi.

***

Kaputren yang dihuni oleh Galuh Ajeng benar-benar luar biasa. Lebih mewah dan terawat. Berbeda dengan rumah yang kuhuni. Padahal, sebelumnya Galuh Candra Kirana adalah putri mahkota dan ibu kandungnya adalah permaisuri. Bagaimana bisa aku mendiami bangunan yang sederhana? Aku turun dari kereta dan memasuki witana. Witana adalah sebuah bangunan terbuka berbentuk bujur sangkar dan bertiang enam belas. Lantainya dibuat dari bebatuan yang dipahat indah. Bulan masih berbentuk cakram, cahaya keemasannya dipantulkan oleh lantai. Keindahan ini serupa fantasi, aku seperti berada dalam negri dongeng.

“Selamat datang, Dewi Sekartaji.” Galuh Ajeng menyapaku dengan senyum simpul. Dia terlihat begitu luar biasa. Paes di bagian kening tepat simetris. Warnanya hitam menyerupai rambutnya. Sedangkan alisnya dibuat bercabang dua seperti make up yang dipakai Nyi Blorong di film lawas. Yang paling mengagumkan adalah pakaian yang dia pakai. Dodotan batik dengan selendang disampirkan pada tangan kanannya. Dia tampak sempurna, sangat cocok bersanding dengan pria yang kutemui di tepi sungai.

“Karena Dewi Sekartaji sudah datang, aku akan memberikan pengumuman seperti permintaan kakakku. Aku, Galuh Ajeng, tidak ingin menikah mendahului kakakku. Karena itu, malam ini aku mengundang kalian agar bisa mengikuti sayembara ini. Jika kalian bisa mengalahkan Dewi Sekartaji dalam silat, maka akan dijadikan suaminya. Sayembara ini hanya diperuntukkan kepada lelaki.” Tutup Galuh Ajeng dan disambut tepuk tangan. Beberapa prajurit bergerak cepat membawa tali yang dipital dari serat nanas kemudian membentuk persegi yang digunakan sebagai gelanggang pertempuran. Aku di tengah gelanggang itu seakan bersiap menerima peserta sayembara dengan seluruh ilmu kedigdayaanku.

Sial! Tidak kusangka Galuh Ajeng selicik ini. Sebentar, ehm... omong-omong dulu saat SMA aku hanya sempat belajar silat Pagar Nusa. Apa ini cukup untuk melawan mereka? Seorang berpakaian biru safir melompat ke gelanggang kemudian memberi hormat padaku. Aku tegang, segera kupasang kuda-kuda. Pria itu menyerangku dengan membabi buta dan aku terpaksa mengeluarkan pukulan di titik vitalnya. Dia terjerembab lalu pingsan.

Melihat lawanku sudah keok, aku justru kaget bukan main. Kupandangi telapak tanganku. Dulu saat perang tanding dengan kawan-kawanku, pukulanku hanya membuat mereka mengernyit. Kenapa sekarang...., apa di tanganku ada semacam tuah? Atau anugrah? Atau apa saja agar memudahkan hidupku selama berada di jaman ini?

Aku masih berusaha menenangkan diri ketika seorang pria bertubuh tinggi tegap masuk ke gelanggang dengan terbang. Caranya terbang memutar seperti rajawali mencari mangsa. Dia berdiri tepat di hadapanku sembari mengulum senyum menggoda.

Lihat selengkapnya