Saat aku sadar, aroma minyak kayu putih yang pertama kali menusuk indra penciumanku. Di satu sisi aroma ini mampu melegakan hidung, apalagi jika sedang mampet karena serangan flu. Tetapi mencium aroma ini dalam waktu yang lama membuat kepalaku pening. Aku beringsut, menghindari aroma yang makin lama tercium semakin pekat.
“Bangunlah.” Suara wanita.
Hm, ibuku tidak mungkin ke apartemenku kemudian merusak tidurku dengan menyalakan humidifier dengan aroma yang kubenci. Sahabat perempuanku? Irene sudah menikah dan tinggal di Amerika Serikat. Dia bilang akan menetap di sana dan akan pulang setahun sekali saat idul fitri. Jadi dia tak mungkin pulang kampung sekarang. Jadi, siapa wanita yang menyuruhku bangun? Dari suaranya sangat asing. Aku belum pernah.... ya-ampun-astaga! Aku duduk dengan sangat cepat hingga membuat kepalaku pusing. Kupijit-pijit pelipisku agar rasa berdenyutnya hilang. Kuamati sekitar pelan-pelan kemudian mendesah kecewa karena rupanya aku masih berada di jaman kerajaan Jenggala.
“Melihatmu bertempur mati-matian dengan Galuh Ajeng, aku jadi bertanya-tanya, siapa kamu?” Dewi Kilisuci duduk di amben kayu yang berseberangan denganku. Matanya tajam menguliti keberanianku.
Apa sebaiknya aku mengaku?
Tapi nanti geger kerajaan ini kalau aku bilang bahwa aku bukan Dewi Sekartaji.
“Sekartaji.” Ucapku grogi.
“Keponakanku akan lebih memilih mengalah dan berdamai, sekalipun pada seorang penjahat. Dia bukan gadis sepertimu, yang akan melawan dan masa bodoh pada resikonya. Jadi, jujurlah, siapa kamu?” dia masih tak mempercayaiku.
“Apa aku akan selamat kalau mengaku? Aku tidak akan dibunuh kan?”
“Tergantung.” Dia mengambil napas panjang, “namun sejauh ini, kamu bisa mempercayaiku.”
Aku menghela napas. Kalau memang harus mati ya mati saja. Toh aku nyaris dua kali mati. Satu tertimpa besi di proyek bangunan. Dua terkena pukulan dari kelima jari Galuh Ajeng. Jadi, tak perlu takut menghadapi apapun sekarang. Lagipula, aku harus mempercayai Dewi Kilisuci seperti permintaannya, juga permintaan pria asing di alam bawah sadarku. Bahwa aku harus menemui Dewi Kilisuci untuk mendapatkan penjelasan.
“Namaku Jovanka Imelda. Aku sedang melakukan kunjungan proyek di Jakarta Utara. Saat itu aku tertimpa besi dari lantai empat dan ketika sadar tiba-tiba aku ada di sini.” Aku menghela napas panjang kemudian menegakkan punggung agar bisa bersandar pada kepala ranjang. “Sebenarnya, aku tidak tahu kenapa bisa berada di jaman ini, terlebih aku tidak tahu bagaimana bisa masuk dalam raga Dewi Sekartaji.”
“Sukma selira,” gumamnya pelan, “yang kamu alami dinamai sukma selira.” Dia pun melangkah mendekat padaku, kemudian duduk di tepi ranjang yang kutempati. “Aku yang menciptakan ajian ini. Satu-satunya yang tahu ilmu sukma selira adalah aku. Sedangkan aku tak mengundangmu. Jadi, siapa yang membawamu?”
“Aku tidak kenal.” Jawabku segera, “hanya saja dia mengaku sebagai anakku.”
“Anakmu?”
“Dewi Kilisuci, apakah kamu mempercayaiku?” ulangku, merasa janggal. Fisikku adalah Dewi Sekartaji. Dan, hanya dengan sebuah pengakuan, seorang mantan pewaris tahta kerajaan bisa mempercayaiku. “Apa kamu tahu di mana sukma Dewi Sekartaji?”
Dia tercenung, “dia dibunuh.”
Kepalaku penuh tanda tanya.
“Bertepatan dengan kamu masuk dalam raganya.”
“Apa aku yang membunuhnya?”
“Bukan. Tentu saja bukan. Aku menyuruh seseorang untuk mengikuti Dewi Sekartaji sepulang dari tempat pertapaanku untuk memastikan dia sampai istana dengan aman. Di tengah jalan, dia dicegat orang-orang berpakaian hitam dan bercadar. Saat itu telik sandiku ingin menolong, namun keduluan Raden Inu Kertapati. Dan, karena jumlah mereka banyak dan tak bisa diremehkan, Raden Inu Kertapati dan Sekartaji kewalahan. Hingga akhirnya salah seorang dari orang misterius itu menggunakan ajian terlarang untuk menghabisi nyawa keponakanku.”
Pantas saja, saat aku membuka mata yang kulihat adalah Raden Inu Kertapati menatapku was-was dengan keris masih terhunus. Rupanya, sebelum sukmaku masuk dalam tubuh Dewi Sekartaji mereka sedang berkelahi dengan penjahat.
“Siapa orang misterius yang menyerangnya?”
Dewi Kilisuci menggeleng, “aku masih menyuruh Raden Inu Kertapati menyelidikinya.” Dewi Kilisuci menghela napas, “omong-omong soal kejadian semalam, sebenarnya itu adalah rencanaku. Aku mempengaruhi Galuh Ajeng untuk segera menyingkirkanmu. Juga agar Raden Inu Kertapati tidak terus memikirkanmu dan hanya memikirkan Galuh Ajeng saja. Umpanku berhasil, Galuh Ajeng melakukan hal yang kuinginkan. Setelah itu, aku juga yang memaksa Raden Inu Kertapati mengikuti pertarungan. Tapi, aku tidak memprediksi kalau Galuh Ajeng gelap mata lalu menyerangmu. Juga kamu... kekuatan apa yang pernah kamu pelajari? Yang tersimpan dalam dirimu?”
Kekuatan? Jadi, benar..., tenaga dalam yang merobohkan bangunan witana semalam itu berasal dariku. Aku hanya bisa menggeleng. kalau saja aku tahu, tentu aku tak akan bertanya-tanya. Aku sendiri juga heran, aku punya tenaga dalam sedemikian besar itu dari mana. Dulu, saat SMA aku memang ikut silat Pagar Nusa. Namun, semenjak kuliah aku sudah tidak berlatih karena sibuk dengan tugas, kuis dan segela tetek bengek yang berkaitan dengan jurusanku.
“Kekuatan yang tersembunyi dalam dirimu sangat... gelap dan hanya orang dengan ilmu hitam yang bisa melakukan itu.”
“Ilmu hitam? Maksudnya?”
“Orang-orang yang bersekutu dengan iblis.”