Aku dibawa masuk ke ruang berbentuk bujur sangkar tertutup. Singgasana raja terbuat dari kayu dengan ornamen khas jawa, yakni elemen alam. Kebanyakan—sepanjang pengalamanku—ornamen yang sering dipakai adalah tumbuhan dengan pola lengkap, memiliki bunga, kelopak bunga, dan daun. Kursi kebesaran raja itu diperindah oleh selendang yang menjuntai dari atap berwarna merah marun. Begitu padu dengan warna dinding. Mataku menunduk dan menemukan satu lagi yang menarik. Lantai ruangan ini yang paling mengagumkan, terbuat dari marmer hitam mengkilat. Entah apa yang dilakukan pada batu marmer itu, yang jelas batuan yang seharusnya nampak kusam, justr berkilau indah. Pandanganku memedar pada sekitar. Di bagian tengah ruangan, ada empat buah tiang penyangga yang diameternya seukuran drum. Tiang itu diwarnai cokelat kayu, lengkap dengan ukiran segitiga timbul melingkar dan menambah kesan artistik.
Barangkali, ruangan ini didesain sedemikian megah dan menyenangkan, tetapi tidak untuk penghuninya. Di ruangan ini hanya ada aku, Galuh Ajeng, Padukaliku dan Raja Jenggala. Sirkulasi udara sangat baik di sini, tetapi suasana tegang dan panas sangat kental. Aku saja sampai menghela napas panjang agar bisa menentramkan jantungku yang berdentam-dentam.
Semenjak Patih Mertani membawaku bertemu Raja Jenggala dan melarang Raden Inu Kertapati ikut, tak sekalipun hatiku tenang. Aku mencium gelagat jahat dari mata Padukaliku dan Galuh Ajeng. Sementara, Raja Jenggala hanya..., yah, serupa boneka.
“Putriku, ini adalah masalah internal rumah tangga raja, jadi aku tak akan membiarkan pejabat lain tahu,” Padukaliku membuka percakapan, suaranya dibuat ramah dan bersahabat tapi aku bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya. Apa lagi? Orang semacam dia pasti haus pengakuan—pengakuan untuk kekuasaannya. Bahwa dia adalah orang nomer satu bagi raja dan seluruh keinginannya harus terpenuhi.
“Ibunda sangat menyayangkan kejadian di Kaputren Galuh Ajeng. Kamu nyaris membunuh adikmu.” Dan, lihat saja matanya mulai berkaca—kaca. “aku benar-benar merasa menjadi ibu yang gagal.” Satu airmatanya menetes. Sekalipun diucapkan dengan suara parau, khas orang menangis, aku sama sekali tak mendengar kesedihan darinya.
Raja Jenggala menyentuh bahu istrinya, mengusapnya pelan.
"Kanda Prabu..., ini semua salahku. Aku tidak becus mendidik Sekartaji. Aku gagal....” dia memeluk sang raja dengan bahu bergetar dan masih terisak-isak dalam pelukan suaminya itu. “Aku hanya punya satu permintaan pada Kanda Prabu, mari kita larang dia keluar dari kediamannya selama tiga bulan agar dia merenungi kesalahannya. Aku takut kalau dibiarkan, dia akan semakin semena-mena dan membahayakan Galuh Ajeng lagi....”
Aku mulai bosan menghadapi situasi ini. Dulu saat menonton sinetron penuh drama saja langsung kuganti saluran Tvku. Nah, ini malah ada drama di depan mataku. Benar-benar memuakkan.
“Sebentar, biar kuralat dulu,” kataku sengak, “bukan aku yang nyaris membunuh Galuh Ajeng, tapi dia yang nyaris menghabisi nyawaku. Aku masih ingat kelima jarinya menghantam dadaku. Dan, Anda... malah membelanya. Aku hanya berusaha membela diri. Kalau aku tidak terancam, aku tidak mungkin melukainya. Yang Mulia, Anda harus melihat masalah ini dengan adil.” Aku meneteskan air mata. Bertingkah seperti Padukaliku yang jago berakting, “aku juga anakmu. Anak dari perempuan kesayanganmu yang kini sudah menghadap Tuhan. Jangan menyakiti aku, Yang Mulia. Aku ini hanya anak yang malang.”
Padukaliku menipiskan bibir, matanya nanar.